Jumat, 17 Agustus 2012

KEKERASAN OLEH & KEPADA SIAPA? Menyoal Fakta Kekerasan oleh Kaum Laki-laki Menuju Budaya Nir-kekerasan


Oleh: 
Sefnat Hontong

Abstraksi:
Tulisan ini mempersoalkan mengapa ada fakta kekerasan dalam masyarakat.  Jika pada lazimnya orang berpandangan bahwa kaum laki-lakilah sang pelaku kekerasan, maka saya dalam tulisan ini hendak  berpendapat bahwa kekerasan sebenarnya dilakukan oleh orang yang ‘kuat’ dan punya ‘kedudukan’ tertentu.  Oleh karena itu, ia (kekerasan) bisa saja dilakukan baik oleh kaum laki-laki maupun  perempuan. Dimana pembuktian ide itu saya buat dengan cara melihat pengalaman secara pribadi lalu menganalisanya berdasarkan beberapa pemikiran yang sedang bergulir sekarang ini (metode komparatif).

Kata kunci: kekerasan, kuasa, kedudukan. laki-laki, dan perempuan

Abstract:
This article questioned why there is a fact of violence in society. If people believe that men are the perpetrators of violence, then I thought: violence can be done by a man or woman, specifically a 'place' within the community. With this comparative method argument is true.

Keywords: violence, power, status, male and female

Pendahuluan
Menurut Johan Galtung ada dua (2) hal mendasar yang perlu kita cermati ketika berbicara tentang kekerasan atau budaya kekerasan dalam masyarakat, yakni; penggunaan kekerasan dalam masyarakat dan legitimasi terhadap penggunaan kekerasan itu.[1]  Sedangkan studi budaya kekerasan dalam masyarakat, menurutnya dapat disoroti dengan cara melihat bagaimana suatu perbuatan kekerasan langsung dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan menjadi bisa diterima oleh masyarakat.  Contoh: pembunuhan atas nama Negara atau ‘tuhan/agama’.  Sedangkan cara yang lain adalah dengan membuat realitas menjadi tidak jelas atau samar-samar, sehingga kita tidak mampu melihat perbuatan atau fakta yang penuh kekerasan, atau setidak-tidaknya sebagai perbuatan atau fakta yang keras.  Contohnya adalah abortus provocatus.[2] 
Berdasarkan pemikiran itu, saya berkesimpulan ternyata soal dan fakta kekerasan dalam masyarakat sungguh sangat rumit dan kompleks untuk dideskripsikan.  Berangkat dari apa yang saya anggap sebagai sesuatu yang sungguh sangat rumit dan kompleks untuk dideskripsikan itu-lah, saya dalam tulisan ini hanya mau berdiskusi di sekitar soal kekerasan; dilakukan oleh dan kepada siapa?.  Topik ini saya pilih untuk menjadikannya sebagai ‘pintu masuk’ untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan realitas kekerasan itu.  Sedangkan metode yang akan saya gunakan untuk membangun diskusi ini adalah metode komparatif, yaitu sebuah metode analisa yang dilakukan dengan cara memperbandingkan dua (2) atau beberapa fakta (ide) yang berbeda, untuk selanjutnya berusaha menemukan sebuah kesimpulan baru yang kiranya bisa menjadi pegangan baik secara filosofis maupun sosiologis.[3] 
Berangkat dari metodologi seperti itu, maka sebagai ide pertama yang saya pilih untuk diperbandingkan dengan ide yang lain dalam tulisan ini adalah bersumber dari pengalaman secara pribadi, sebagaimana yang terjadi pada 30 tahun yang silam.  Dalam tulisan ini ide itu saya sebut dengan sub-judul: ‘Saya Orang Merdeka; Pengalaman Kekerasan dalam Keluarga. Ide ini saya pilih, oleh karena saya merasa ia sangat bertentangan dengan ide umum yang dianut oleh orang kebanyakan.  Selanjutnya ide dalam pengalaman secara pribadi ini kemudian saya perbandingkan dengan beberapa pemikiran secara teoretik yang mendukungnya; yang dalam tulisan ini saya beri sub-judul Dari Pengalaman Pribadi ke Realitas SosialTujuan yang ingin saya capai di sini adalah agar ide dalam pengalaman pribadi itu bisa menjadi sebuah ide baru untuk dipikirkan oleh orang kebanyakan.  Dalam hal ini, saya berusahan untuk melihat sejauh mana fakta dalam pengalaman pribadi itu bisa bermakna social, supaya bisa melahirkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi untuk dipikirkan. 
Mudah-mudahan dengan menggunakan metode seperti ini saya akhirnya akan menemukan apa yang saya cari. Sehingga impian untuk menciptakan budaya nir-kekerasan (tanpa kekerasan) dalam masyarakat bisa menjadi fakta yang actual secara sosiologisBerdasarkan pada sejumlah alasan seperti itulah, saya lalu memberi judul tulisan ini sebagaimana adanya.

Saya Orang Merdeka; Pengalaman Kekerasan dalam Keluarga
Ketika saya kecil dulu, kedua orang tua saya sangat alergi melihat saya bermain di saat jam istirahat siang.  Suatu kali, ketika mereka sedang istirahat (tidur) siang, saya pergi tanpa mereka tahu dan bermain di sungai dengan sebuah rakit.  Tanpa sadar saya tiba-tiba terbawa arus sungai, hingga akhirnya tersangkut pada serumpun bambu.  Peristiwa ini kemudian menyebabkan seluruh tubuh saya penuh dengan luka goresan bambu. 
Saya pasti tidak bisa menyembunyikan insiden itu kepada kedua orang tua saya!  Ketika saya ditanyai tentang luka-luka itu, saya lalu berterus terang.   Harapan saya dengan sikap berterus terang ini adalah agar dikasihani dan tidak kenah marah.  Tetapi ternyata tidak, akhir dari keterus-terangan itu, saya malah dicubit oleh ibu dan dipukul oleh ayah dengan ikat pinggangnya. Saya pasti menangis dan terasa sakit hati ini, lalu menjadi trauma yang berkepanjangan.  Saya ingat, ketika saya dicubit dan dipukul (saat itu), tiba-tiba terlontar dari mulut saya sebuah ungkapan: “Papa-mama! Saya orang merdeka, jangan dijajah seperti ini”. 
Demikian pengalaman masa silam saya ketika berumur 10 tahun.  Kini, sudah 30 tahun berlalu.  Awalnya saya berpikir bahwa pengalaman yang menyakitkan itu hanya menjadi pengalaman pribadi saja.  Namun setelah menjadi dewasa dan mempelajari kehidupan keluarga secara umum, saya menemukan ternyata pengalaman pada 30 tahun yang silam itu, masih ada dan malah seringkali dianggap sebagai metode yang dipercaya dapat membentuk karakter anak oleh hampir semua orang tua. 
Saya lalu bertanya: mengapa metode yang menyakitkan ini masih digunakan?  Apakah tidak ada metode yang lain?  Apakah para orangtua tidak tahu metode mendidik anak yang lebih manusiawi; yang nir-kekerasan?  Atau jangan-jangan hal ini berhubungan erat dengan ideologi tertentu yang sudah berurat akar dan dianut sebagai sebuah kebenaran dalam masyarakat, yakni: ‘kekerasan’ dapat membentuk karakter baik seorang anak? Lihat saja, ada banyak anak di dalam keluarga yang ‘diajar’ oleh orang tuanya dengan rotan, dan ada pula banyak anak didik di sekolah yang ‘diajar’ oleh gurunya dengan rotan.  Pertanyaan saya selanjutnya adalah: mengapa bisa begitu? Saya menduga hal itu bisa terjadi karena dilegitimasi oleh pepatah (nasehat?) yang mengatakan: ‘di ujung rotan ada emas’.

Dari Pengalaman Pribadi ke Realitas Sosial
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa praktek dan tindak kekerasan, tidak saja dilakukan oleh kaum laki-laki (papa), namun juga oleh oleh kaum perempuan; mama saya. Dalam hal ini, pengalaman pribadi saya berbicara atau menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan yang dianut oleh orang kebanyakan, yakni: kekerasan adalah kekerasan oleh kaum laki-laki, dan terhadap kaum perempuan; kekerasan adalah kekerasan kepada perempuan, bukan oleh perempuan.
Dalam kaitan dengan hal itu, Imanuel Gerrit Singgih dalam analisanya terhadap teks Hakim-hakim 4 - 5 yang menceritakan tentang Debora dan Barak, dan mengedepankan kisah Yael sebagai seorang perempuan pembunuh berdarah dingin dalam 4:17-22, memberi sebuah kesimpulan yang menarik untuk kita simak dalam kaitannya dengan pandangan bahwa kekerasan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Yael menurut Singgih, bahkan melakukan tindak kekerasan ganda dalam narasi tersebut.  Pertama, ia menjadi citra yang negative dalam konteks perempuan, karena terkesan membangun perselingkuhan dalam konteks politik kekuasaan dan menjadikan objek selingkuhnya sebagai ‘kambing hitam’ keharmonisan palsu demi kekuasaan politik bersama Israel.  Kedua, dan oleh karena karaktek negative ganda itulah ia disebut sebagai seorang perempuan culas dan tidak dapat dipercaya bahkan pembunuh berdarah dingin dalam konteks tindak kekerasan terhadap laki-laki.[4]
Berdasarkan kesimpuan itu, Singgih menegaskan secara empiris kita tidak bisa membuktikan bahwa hanya laki-laki-lah sang pelaku kekerasan, oleh karena kekerasan selalu adalah kekerasan terhadap perempuan (sekalipun hal itu kelihatannya sangat dominan).  Maka dari pada berpikir mencari-cari ‘penyebab gender’ dari realitas kekerasan itu, maka menurut Singgih; akar dari semua fakta kekerasan sebenarnya adalah ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’.  Kekuatan dan kekuasaan itu akan membuat orang rela melakukan kekerasan dengan  menjadikan orang lain sebagai korban, dan yang terlibat itu bisa laki-laki, namun bisa juga perempuan.[5]  Akhirnya sebagai penutup analisanya, Singgih kemudian mengajak kita  semua baik laki-laki maupun perempuan untuk berhenti melakukan perang ontologi, yaitu antara ontologi berwujud kekerasan sebagai kekerasan terhadap laki-laki, dan ontologi berwujud kekerasan terhadap perempuan.[6]
Dalam kesadaran yang sama, seorang teolog perempuan Indonesia: Basilica Dyah Putranti ketika membahas ‘Konflik antaragama: Sebuah Pendekatan Sosialogis Feminis’, menilai bahwa dalam masyarakat kita sedang terjadi sebuah kecenderungan feminisme eksklusif dan kurang proporsional dalam melihat fakta kekerasan dan paham feminisme yang inklusif. Dimana kecenderungan feminisme eksklusif dan kurang proporsional itu menurut Putranti ditandai oleh adanya paham dan kecenderungan struktur analisa sosial yang selalu menempatkan laki-laki sebagai pelaku kekerasan dan perempuan adalah korban dalam segala persoalan ketimpangan gender dalam masyarakat.[7]
Kesadaran sosiologis Putranti dan penegasan Singgih di atas, pada dasarnya telah membantu saya untuk membaca fakta kekerasan yang saya alami pada 30 tahun yang silam.  Dimana oleh karena saya adalah ‘anak’ dan biasanya anak (apalagi anak yang masih kecil) selalu dianggap sebagai orang yang ‘lemah’ (bahkan terkadang juga ‘bukan orang’, alias tidak punya kekuatan dan kuasa), maka kedua orang tua saya yang menganggap dirinya sebagai ‘orang’ (yang kuat dan punya ‘kuasa’ sebagai orang tua), merasa ‘layak’ mencubit dan memukuli saya dengan ikat pinggang.  Hasil pembacaan seperti ini sungguh-sungguh memperlihatkan dengan jelas bahwa kekuatan dan kekuasaan adalah ‘penyebab’ dari segala realitas kekerasan dan kritik terhadap pemahaman dan kecenderungan  feminisme yang eksklusif dan kurang proporsional tadi.
Memperkuat hal yang sangat penting tersebut, Daniel K. Listijabudi ketika mempelajari pemikiran Rene Girard seorang kritikus sastra asal Perancis dalam analisanya terhadap kisah Kain dan Habel, menyimpulkan bahwa peristiwa pembunuhan Kain terhadap Habil adiknya itu justru dipengaruhi oleh system dan mekanisme: orang ‘kuat’ dan punya ‘kuasa’ melawan orang ‘lemah’ yang tidak punya ‘kuasa’.  Dimana Habel yang adalah ‘adik’ Kain, tentu tidak ‘berdaya’ menghadapi ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’ Kain sebagai ‘kakaknya’.  Dalam hal ini Habel sebagai yang ‘adik’ telah berfungsi sebagai korban pengganti (the surrogate victim) dari ‘status’ dan ‘kewajaran’ Kain sebagai ‘kakak’ yang ‘berkuasa’ dan yang sedang marah akibat persembahannya tidak diterima Tuhan.  Dimana the surrogate victim itu selalu berpihak kepada yang kecil dan lemah serta yang gampang diserang.[8]
Berdasarkan seluruh pemikiran seperti di atas, saya merasa agak kurang setuju (senang?) dengan kecenderungan pengkutuban gender dalam rangka membahas realitas kekerasan dalam masyarakat, sebagaimana yang lazim dilakukan selama ini. Seolah-olah menurut kecenderungan ini, yang menjadi pelaku utama dan yang bersalah adalah kaum laki-laki, sedangkan yang menjadi korban dan yang wajib dibela adalah kaum perempuan. Memang kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta dimana laki-laki sering berlaku ‘keras’ dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.  Oleh karena itu, ada benarnya juga apa yang ditegaskan oleh badan pengurus PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia) ketika memberi pengantar dalam suratnya tertanggal 15 Februari 2012 kepada para penulis Jurnal SOPHIA Edisi I tahun 2012, yakni: gerak keberpihakan agama bagi dominasi patriarki semakin memperindah “tarian kekerasan” dalam lenggak-lenggok diskriminasi yang memarginalkan karena keperempuanannya sebagai hal yang wajar diterima.[9] Namun demikian, menurut saya fakta laki-laki sebagai pelaku utama tindak kekerasan dalam masyarakat dan penegasan badan pengurus PERUATI tersebut di atas, tidak bisa dibaca sebagai fakta antara laki-laki terhadap perempuan, melainkan harus dibaca sebagai fakta antara orang yang punya ‘kuasa’ terhadap orang yang ‘tidak’ punya kuasa, alias orang yang lemah.  Sedangkan baik orang yang punya dan orang yang ‘tidak’ punya kuasa, biasanya tidak saja kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki.  Karena itu, menurut saya adalah kurang seimbang jika soal kekerasan itu dibaca dengan ontology antara gender. 
Berkaitan dengan hal itu, Kwok Piu-Lan, seorang teolog feminis asal Hongkong dalam penelitiannya tentang metode tafsir Alkitab mengemukakan bahwa masalah bias gender dalam Alkitab sebaiknya jangan dipahami (ditafsirkan) dalam rangka pengkutuban kategori-kategori oposisi, seperti: antara laki-laki dan perempuan, antara budak dan hamba, antara kulit putih dan kulit hitam, melainkan semua kategori-kategori pengkutuban dan oposisi itu harus didekolonisasikan (ditafsir ulang secara baru dalam konteks pasca kolonialisme, tafsir postcolonial).[10]  Contoh yang dikemukakan oleh Kwok Pui-Lan adalah masalah apartheid di Afrika Selatan.  Bahwa apartheit secara konstitusi sudah dinyatakan tidak berlaku  sejak tahun 1986, tetapi dalam kesadaran masyarakat Afrika Selatan masalah apartheit itu justrtu masih menjadi pola dan live style masyarakat.  Terutama dari sudut penguasaan fasilitas-falisitas Negara yang masih dikuasai oleh kaum kulit putih.  Maka menurut Kwok Pui-Lan ada tiga (3) hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat di Afrika Selatan agar bisa (betul-betul) bebas dari kungkungan ideology apartheid.  Antara lain: Pertama, melakukan Imagination Historical, yaitu menyadari bahwa ada kultur-kultur masa lalu, yang buruk, yang telah dianut oleh masyarakat dan sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran.  Kedua, melakukan  Imagination Dialogical, yaitu sikap terbuka pada tradisi-tradisi baru yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat.  Dan yang ketiga, melakukan Imagination Diasporical, yaitu proses memasukkan tradisi-tradisi luar yang dianggap dapat memberdayakan kehidupan masyarakat.[11]
Berangkat dari pemikiran tersebut, menurut hemat saya pembicaraan/diskusi di sekitar upaya mengatasi masalah kekerasan dalam masyarakat sebenarnya haruslah diorientasikan kepada pembentukan kesadaran masyarakat bahwa ternyata yang sering dan cenderung melakukan praktek/tindak dan budaya kekerasan dalam masyarakat adalah orang-orang yang mempunyai ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’, baik secara ekonomi, politik, social, budaya, bahkan agama, dan mereka itu selalu terdiri dari baik laki-laki maupun perempuan. 

Penutup dan Rekomendasi
Demikianlah uraian saya mengenai fakta kekerasan dalam masyarakat.  Sekedar mengingatkan kembali dan menjadi kesimpulan untuk dipikirkan dalam kerangka membangun diskusi dan relasi sosial di tengah masyarakat, secara khusus dalam konteks budaya kekerasan adalah mengingat nasehat Singgih di atas, yakni: kita  semua baik laki-laki maupun perempuan harus berhenti melakukan perang ontologi, yaitu antara ontologi berwujud kekerasan sebagai kekerasan terhadap laki-laki, dan ontologi berwujud kekerasan terhadap perempuan, sambil bersikap terbuka terhadap pemahaman bahwa yang melakukan kekerasan sesungguhnya adalah orang-orang yang punya ‘kuasa’ dan ‘kedudukan’ tertentu dalam masyarakat, dan mereka itu biasanya adalah baik laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya, agar ide tersebut bisa menjadi sebuah karakter (tabiat) masyarakat dalam relasi social untuk berupaya membangun sebuah tradisi dan budaya nir-kekerasan, saya berdasarkan tiga (3) langkah yang diusulkan oleh Kwok Piu-Lan di atas, merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, melakukan Imagination Historical, yaitu menyadari bahwa ada kultur-kultur masa lalu, yang buruk, yang telah dianut oleh masyarakat dan sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran.  Salah satunya adalah melakukan kajian untuk mengkritisi berbagai ideology lama serta membangun wacana-wacana baru yang segar seperti: merevisi pepata yang berkata: ‘ada emas di ujung rotan’ menjadi ‘ada rotan dimata orang tua/guru’.  Revisi semacam ini bertujuan agar ideology kekerasan fisik yang diakibatkan oleh pepata ‘ada rotan di ujung emas’ perlahan-perlahan dielimir untuk disangkali sebagai sebuah kebenaran.
Kedua, melakukan  Imagination Dialogical, yaitu sikap terbuka pada tradisi-tradisi baru yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat. Memang saya sadari bahwa untuk merubah sebuah tradisi bukanlah ibarat kita membalik telapak tangan.  Namun hal itu bukan berarti tidak bisa dilakukan.  Salah satu yang mungkin dan bisa dikerjakan dalam kerangka berpikir seperti itu adalah: menyediakan sarana dan media informasi dan komunikasi di ruang publik agar proses pertukaran berbagai informasi termasuk informasi tentang kultur dan tradisi baru yang memberdayakan masyarakat cepat mendarat dan diterima secara luas.  Misalnya dengan cara menulis atau mendukung kegiatan ‘Koran masuk desa’.  
Ketiga, melakukan Imagination Diasporical, yaitu proses memasukkan tradisi-tradisi luar yang dianggap dapat memberdayakan kehidupan masyarakat.  Hal ini hampir sama posisinya dengan yang kedua di atas.  Apalagi di zaman dan era globalisasi seperti sekarang ini, saya merasa sekalipun tidak diusulkan ia sementara berlangsung dan terus akan terjadi.  Usulan yang sangat mungkin dikerjakan adalah: mempraktekkan sesuatu yang baru dan dirasa akan memberdayakan itu mulai dari diri sendiri.  Semoga!


Kepustakaan:
Bakker, A., & Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius. 1990.
Galtung, J., Kekerasan Budaya, dalam: Thomas Santoso (editor), Teori-teori Kekekarasan,  Jakarta, Ghalia Indonesia. 2002.
Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination & Feminist Theology. Louisville Kentrucky, Westminster John Knox Press, 1989.
Lefebure, L.D. Revelation The Religious and Violence. Maryknoll, New York, 1989.
Listijabudi, D.K., Tragedi Kekerasan; Menelusuri Akar dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel.  Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997.
Putranti, B.D., & Asnath Niwa Natar (Editor), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Praksis, Yogyakarta, PSF UKDW Yogyakarta. 2004.
Singgih, E.G., Dua Konteks; Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia. 2009.
Lampiran surat PERUATI Nomor: 24/BPP PERUATI/II/2012, tanggal 15 Februari 2012.



Bio Data Penulis:
Sefnat Hontong lahir di Akelamo Sahu Halmahera Barat tanggal 8 September 1972.  Mengambil Sarjana Sains Teologi (S.Si) pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) Tobelo Wari Halmahera Utara, dengan presentasi Skripsi “ Lama dan Baru” Suatu Studi Filosofis Komparatif Tentang Keberadaan Manusia Dalam Filsafat Eksistensialisme Dan Terang Alkitab, lulus tahun 1996. Menjalani masa vikaris (persiapan menjadi Pendeta) sejak bulan April 1997 dan ditahbiskan menjadi Pendeta GMIH di jemaat “EPPATA “ Samuda Galela pada Oktober 1998. Sesudah itu melayani sebagai Ketua Jemaat di jemaat GMIH “EPPATA” Samuda (Nopember 1998 s/d Nopember 2001) dan jemaat GMIH “NITA” Duma Galela (Nopember 2001 s/d Nopember 2005).  Sejak Januari 2006 s/d Juni 2008 melanjutkan pendidikan S-2 Teologi (M.Th) pada Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, dengan presentasi tesis: “Rekonsiliasi Halmahera di Sekitar Pusara Korban” Kajian Teologi Sosial.  Sejak 1 Oktober 2010 ditugaskan oleh BPH Sinode GMIH menjadi dosen tetap di Universitas Halmahera (Uniera).  Sekarang menjabat sebagai Kaprodi Ilmu Teologi di Fakultas Teologi Uniera. 





[1] Johan Galtung, Kekerasan Budaya, dalam: Thomas Santoso (editor), Teori-teori Kekekarasan,  Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 183.
[2] Johan Galtung, Kekerasan Budaya,……. hlm. 184.
[3] Lihat: Anton Bakker & Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hlm. 50 & 83-90.
[4] Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009. hlm.26.
[5] Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; ………………… hlm.18.
[6] Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; ………………… hlm.32.
[7] Basilica Dyah Putranti, Konflik Antaragama: Sebuah Pendekatan Sosiologis Feminis, dalam: Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (Editor), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Praksis, Yogyakarta, PSF UKDW Yogyakarta, 2004, hlm. 88.
[8] Daniel K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan; Menelusuri Akar dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel.  Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997, hlm.70.
[9] Lampiran surat PERUATI Nomor: 24/BPP PERUATI/II/2012, tanggal 15 Februari 2012.
[10] Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination & Feminist Theology. Louisville Kentrucky, Westminster John Knox Press, 1989, p. 29-51
[11] Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination……….p. 29-51

Kamis, 16 Agustus 2012

KAIN 2 WARNA


Oleh:
Ater Tjaja

Kain 2 warna itu terlihat kusam, kusut dan pudar, mungkin karena terlalu lama di dalam kas, tanda diabaikan dan lebih memilih warna lainnya sebagai pelambangan ideologi sempit bernuansa religi serta warna milik "kelompok" yang dibilang parpol ....
Kain 2 warna itu mulai sobek...... mungkin digigit tikus --yang entah benar tikus, atau manusia yang disimbolkan tikus (?)--, tanda belum bermanfaat Kanper Pada Kas.....
Kain 2 warna itu mulai penuh noda......mungkin jarang disikat, tanda belum mau hidup bersih.....
Kain 2 warna itu sesekali buat tumpah air mata, itu pun sehari saja di bulan Agustus saat benar-benar dipuncak tiang dan diikuti basa(h)-basi --bahasa di sini : hamis kar'na basah-- yang sering disebut pidato bla...bla...bla...
Setelah lewat harinya justru (mungkin) Kain 2 warna itulah yang berair mata dan berposisi setengah tiang, mungkin akibat bencana alam dan bencana sosial yang berkepanjangan di sini...
Di hati masih seperti baru. Terang, ceria, tidak kusut, tidak sobek, tidak bernoda, dan selalu terkibar. Masih tetap berbangga di tengah "aib" lainnya. Masih Merah-Putih, Masih Indonesia, negeri penuh kemungkinan yang terus bersorak Merdeka!! Merdeka!! Merdeka!! sebuah kata yang pernah (dirasa), sementara (diusahakan) dan akan (dinikmati)!! Dirgahayu Indonesia. 17-08-2012.


Gambar: http://gerrilya.wordpress.com/tag/bendera/

Sabtu, 28 Juli 2012

Kekerasan Oleh dan Kepada Siapa? Menyoal Pendapat Bahwa Kekerasan Selalu Oleh Kaum Laki-laki


Oleh: Sefnat Hontong

Saya Orang Merdeka; Pengalaman Kekerasan dalam Keluarga
Ketika saya kecil dulu, kedua orang tua saya sangat alergi melihat saya bermain di saat jam istirahat siang.  Suatu kali, ketika mereka sedang istirahat (tidur) siang, saya pergi tanpa mereka tahu dan bermain di sungai dengan sebuah rakit.  Tanpa sadar saya tiba-tiba terbawa arus sungai, hingga akhirnya tersangkut pada serumpun bambu.  Peristiwa ini kemudian menyebabkan seluruh tubuh saya penuh dengan luka goresan bambu. 
Saya pasti tidak bisa menyembunyikan insiden itu kepada kedua orang tua saya!  Ketika saya ditanyai tentang luka-luka itu, saya lalu berterus terang.   Harapan saya dengan sikap berterus terang ini adalah agar dikasihani dan tidak kenah marah.  Tetapi ternyata tidak, akhir dari keterus-terangan itu, saya malah dicubit oleh ibu dan dipukul oleh ayah dengan ikat pinggangnya. Saya pasti menangis dan terasa sakit hati ini, lalu menjadi trauma yang berkepanjangan.  Saya ingat, ketika saya dicubit dan dipukul (saat itu), tiba-tiba terlontar dari mulut saya sebuah ungkapan: “Papa-mama! Saya orang merdeka, jangan dijajah seperti ini”. 
Demikian pengalaman masa silam saya ketika berumur 10 tahun.  Kini, sudah 30 tahun berlalu.  Awalnya saya berpikir bahwa pengalaman yang menyakitkan itu hanya menjadi pengalaman pribadi saja.  Namun setelah menjadi dewasa dan mempelajari kehidupan keluarga secara umum, saya menemukan ternyata pengalaman pada 30 tahun yang silam itu, masih ada dan malah seringkali dianggap sebagai metode yang dipercaya dapat membentuk karakter anak oleh hampir semua orang tua. 
Saya lalu bertanya: mengapa metode yang menyakitkan ini masih digunakan?  Apakah tidak ada metode yang lain?  Apakah para orangtua tidak tahu metode mendidik anak yang lebih manusiawi; yang nir-kekerasan?  Atau jangan-jangan hal ini berhubungan erat dengan ideologi tertentu yang sudah berurat akar dan dianut sebagai sebuah kebenaran dalam masyarakat, yakni: ‘kekerasan’ dapat membentuk karakter baik seorang anak? Lihat saja, ada banyak anak di dalam keluarga yang ‘diajar’ oleh orang tuanya dengan rotan, dan ada pula banyak anak didik di sekolah yang ‘diajar’ oleh gurunya dengan rotan.  Mengapa? karena ada pepatah yang mengatakan: ‘di ujung rotan ada emas’.

Dari Pengalaman Pribadi ke Realitas Sosial
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa budaya dan praktek kekerasan tidak saja dilakukan oleh kaum laki-laki, sekalipun ada asumsi umum yang mengatakan bahwa kekerasan adalah ‘milik’ kaum laki-laki.  Dalam kasus yang saya alami ternyata kekerasan bisa dilakukan juga oleh kaum perempuan (mama).  Imanuel Gerrit Singgih (2009:19) pernah menulis sebagai berikut: secara empiris kita tidak bisa membuktikan bahwa hanya laki-laki-lah sang pelaku kekerasan, oleh karena kekerasan selalu adalah kekerasan terhadap perempuan (sekalipun hal itu kelihatannya sangat dominan).  Maka dari pada berpikir mencari-cari ‘penyebab gender’ dari realitas kekerasan itu, maka menurut Singgih akar dari semua fakta kekerasan sebenarnya adalah ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’.  Kekuatan dan kekuasaan itu akan membuat orang rela melakukan kekerasan dengan menjadikan orang lain sebagai korban, dan yang terlibat itu bisa laki-laki, namun bisa juga perempuan. 
Dalam kasus yang saya alami, saya rasa oleh karena saya adalah ‘anak’ dan biasanya anak (apalagi anak yang masih kecil) selalu dianggap sebagai yang ‘lemah’ dan ‘bukan orang’ (tidak punya sama sekali kekuatan dan kuasa), maka kedua orang tua saya yang menganggap dirinya sebagai ‘orang’ (yang kuat dan punya ‘kuasa’ sebagai orang tua), merasa ‘layak’ mencubit dan memukuli saya dengan ikat pinggang, telah memperlihatkan dengan jelas bahwa kekuatan dan kekuasaan adalah ‘penyebab’ dari realitas kekerasan dalam masyarakat. Daniel K. Listijabudi (1997:70) ketika mempelajari pemikiran Rene Girard seorang kritikus sastra asal Perancis dalam analisanya terhadap kisah Kain dan Habel, menyimpulkan bahwa peristiwa pembunuhan Kain terhadap Habil adiknya itu justru dipengaruhi oleh system dan mekanisme: orang ‘kuat’ dan punya ‘kuasa’ melawan orang ‘lemah’ yang tidak punya ‘kuasa’.  Dimana Habel yang adalah ‘adik’ Kain, tentu tidak ‘berdaya’ menghadapi ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’ Kain sebagai ‘kakaknya’.  Dalam hal ini Habel sebagai yang ‘adik’ telah berfungsi sebagai korban pengganti (the surrogate victim) dari ‘status’ dan ‘kewajaran’ Kain sebagai ‘kakak’ yang ‘berkuasa’ dan yang sedang marah akibat persembahannya yang tidak diterima Tuhan.  Dimana the surrogate victim itu selalu berpihak kepada yang kecil dan lemah serta yang gampang diserang.
Berdasarkan pemikiran seperti itu, saya merasa agak kurang setuju dengan kecenderungan pengkutuban gender dalam rangka membahas realitas kekerasan dalam masyarakat, sebagaimana yang lazim dilakukan selama ini. Seolah-olah menurut kecenderungan ini, yang menjadi pelaku utama dan yang bersalah adalah kaum laki-laki, sedangkan yang menjadi korban dan yang wajib dibela adalah kaum perempuan.
Memang kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta dimana laki-laki sering berlaku ‘keras’ dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.  Namun fakta ini menurut hemat saya tidak bisa dibaca sebagai fakta antara laki-laki terhadap perempuan, melainkan harus dibaca sebagai fakta antara orang yang punya ‘kuasa’ terhadap orang yang ‘tidak’ punya kuasa,alias orang yang lemah.  Dan orang yang ‘tidak’ punya kuasa atau yang lemah itu, biasanya tidak saja kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. 
Berkaitan dengan hal itu, Kwok Piu-Lan (1989: 52), seorang teolog feminis asal Hongkong mengemukakan bahwa masalah bias gender sebaiknya jangan dipahami dalam rangka pengkutuban kategori-kategori oposisi, seperti: antara laki-laki dan perempuan, antara budak dan hamba, antara kulit putih dan kulit hitam, melainkan semua kategori-kategori pengkutuban dan oposisi itu harus didekolonisasikan (ditafsir ulang secara baru dalam konteks pasca kolonialisme, tafsir postcolonial).  Contoh yang dikemukakan oleh Kwok Pui-Lan adalah masalah apartheid di Afrika Selatan, bahwa apartheit secara konstitusi sudah dinyatakan tidak berlaku  sejak tahun 1986, tetapi dalam kesadaran masyarakat Afrika Selatan masalah apartheit itu justrtu masih menjadi pola dan live style masyarakat.  Terutama dari sudut penguasaan fasilitas-falisitas Negara yang masih dikuasai oleh kaum kulit putih.  Maka menurut Kwok Pui-Lan ada tiga (3) hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat di Afrika Selatan agar bisa (betul-betul) bebas dari kungkungan ideology apartheid.  Antara lain: Pertama, melakukanImagination Historical, yaitu menyadari bahwa ada kultur-kultur masa lalu, yang buruk, yang telah dianut oleh masyarakat dan sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran.  Kedua, melakukan  Imagination Dialogical, yaitu sikap terbuka pada tradisi-tradisi baru yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat.  Dan yang ketiga, melakukan Imagination Diasporical, yaitu proses memasukkan tradisi-tradisi luar yang dianggap dapat memberdayakan kehidupan masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut, menurut hemat saya pembicaraan/diskusi tentang masalah kekerasan dalam masyarakat sebenarnya harus diorientasikan kepada pembentukan kesadaran kita bahwa ternyata yang sering melakukan praktek dan budaya kekerasan dalam masyarakat adalah orang-orang yang mempunyai ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’, baik secara ekonomi, politik, social, budaya, bahkan agama, dan mereka itu selalu terdiri dari baik laki-laki maupun perempuan.  Maka jika kita hendak menjawab pertanyaan sebagaimana yang tertulis sebagai judul tulisan ini: ‘Kekerasan oleh & kepada siapa?’ Maka jawabannya adalah: oleh yang ‘kuat’ kepada yang ‘lemah’ dalam seluruh dimensi kehidupan manusia dan masyarakat. 

PEMBANGUNAN JEMAAT DALAM KONTEKS GMIH (materi pembinaan)


Oleh: Ebin Danius

  1.  PENDAHULUAN
Dunia berkembang dengan sangat cepat. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat dianggap sebagai salah satu penyebab penting dari perubahan tersebut. Dukungan terhadap kemudahan hidup yang diberikan oleh IPTEK membuat kebutuhan manusia terhadap manusia lain semakin terbatas. Manusia semakin dapat hidup sendiri dengan memanfaatkan kemajuan yang ada.
Dalam situasi Halmahera, perubahan juga terjadi. Pemekaran wilayah telah secara langsung mendorong kemajuan masyarakat dengan masuknya berbagai sarana pendukung kehidupan yang lebih baik. Dampak yang nyata dari situasi seperti ini adalah berkembangnya masyarakat dari pola hidup bersama menjadi pola hidup individualistik. Walaupun tentunya tidak separah yang terjadi di kota besar, namun setidaknya perubahan tersebut ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat Halmahera.
Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) saat ini menghadapi kenyataan perubahan dari warga jemaatnya yang semakin kuat. Sayangnya perubahan sosial yang terjadi tidak dilihat sebagai sebuah kenyataan yang membutuhkan pergumulan tertentu dari Gereja. Banyak jemaat-jemaat dalam sinode GMIH justru sibuk dengan pembangunan fisik gedung gereja dan kegiatan-kegiatan ritual lainnya dan mengenyampingkan kebutuhan terhadap pembinaan warga jemaat dalam menghadapi situasi baru yang berbeda dari situasi jemaat sebelumnya. Keadaan seperti ini mengakibatkan warga jemaat mencari sendiri jawaban dari berbagai situasi hidup yang mereka alami dan hal ini berdampak pada  hengkangnya warga GMIH dari persekutuan jemaat.
Kenyataan lain bahwa GMIH sebenarnya tidak memiliki standar ajaran-ajaran Gereja. Para pelayan jemaat dalam hal ini para pendeta mengembangkan sendiri pemahaman mereka berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Pemahaman para pendeta lebih banyak pada pendekatan moral etik ketimbang kebutuhan real warga jemaatnya. Dosa, Salah dan Benar, Neraka dan Surga menjadi tema-tema penting dalam ajaran-ajaran yang dibawakan oleh pendeta melalui khotbah-khotbahnya. Ajaran-ajaran yang demikian justru mengajak warga jemaat meninggalkan realitas hidup sehari-hari. Hal ini menurut hemat penulis juga menjadi penyebab dari runtuhnya sikap hidup bersama dalam persekutuan jemaat. Penekanan ajaran terhadap ukuran-ukuran moral tertentu membawa pandangan lain bahwa keselamatan adalah usaha individu. Orientasi pikir pada masalah akhir zaman menghilangkan kesadaran sosial warga jemaat. Akibatnya persekutuan jemaat dalam ibadah-ibadah hanyalah sarana mencari ‘petunjuk’ cara hidup sendiri dan bukan cara hidup persekutuan.
GMIH seharusnya mulai kembali menyadari bahwa tantangan hidup yang dihadapi warganya semakin beragam. Pendekatan pelayanan dalam pengajaran dan pembinaan warga jemaat mesti diubah dari Sorga ke Dunia. Dalam hal ini cita-cita jemaat mula-mula dapat menjadi panduan yang jelas dalam menciptakan persekutuan berdasarkan kasih. Tidak ada yang kaya dan tidak yang miskin, semua hidup dalam persekutuan yang menantikan Tuhan. Dalam penantian itu jemaat saling tolong menolong untuk hidup secara lebih baik.
Sikap GMIH yang secara sinodal tidak memiliki kemampuan untuk membaca perubahan dalam jemaat-jemaatnya berujung pada sikap dalam hidup jemaat yang  juga tidak menyadari perubahan tersebut. Pelayanan dalam kehidupan jemaat-jemaat lebih banyak ditekankan pada aspek pelayanan ibadah dan kurang menyentuh pada pelayanan lainnya. Padahal dengan bertambahnya tantangan dalam hidup anggota jemaat sebagai akibat dari perubahan yang terjadi, dibutuhkan pendekatan baru dalam menerjemahkan keyakinan iman Kristiani dalam situasi-situasi tersebut.
Kesadaran terhadap keterbatasan GMIH dalam memahami hal ini membuat penulis mencoba menyusun materi pembinaan kepada warga sidi di Jemaat Betlehem. Materi pembinaan ini akan disusun dengan kerangka sebagai berikut:
I.     Pendahuluan
II.    Data Jemaat
III.  Konteks Jemaat
IV.  Arah dan Isi Pembinaan
V.    Bentuk dan Waktu Pembinaan
VI.  Aset dan Kebutuhan
VII. Program
  1. II.                Data Jemaat
Jemaat Betlehem merupakan salah satu jemaat yang ada dalam lingkungan GMIH. Jemaat ini berdiri sebagai hasil dari pemekaran jemaat Imanuel Gamsungi. Pemekaran tersebut terjadi sebagai respon warga jemaat keturunan Tionghoa terhadap buruknya pelayanan yang dilakukan oleh pelayan jemaat terhadap mereka[1]. Awalnya mereka ingin keluar sepenuhnya dari GMIH dengan bergabung dengan salah satu jemaat di luar GMIH. Namun setelah dilakukan pertemuan berulang kali mereka memberikan opsi kepada Sinode GMIH dan Jemaat Imanuel Gamsungi. Opsi tersebut adalah : mereka akan tetap bergabung dengan GMIH jika Sinode GMIH dan Jemaat Imanuel mengijinkan mereka mendirikan jemaat sendiri. Kalau opsi ini tidak diterima maka mereka menyatakan keluar dari GMIH. Sinode GMIH dan Jemaat Imanuel akhirnya mengijinkan pemekaran dengan melepas jemaat dalam sebuah ibadah di Gereja Imanuel Gamsungi. Peristiwa ibadah tersebut kemudian diperingati sebagai hari berdirinya jemaat Betlehem.
Setelah berdiri sendiri, persoalan pertama yang mereka hadapi adalah tidak adanya tempat ibadah yang memadai. Seorang warga jemaat kemudian meminjamkan Ruko miliknya untuk dipakai sebagai tempat beribadah setiap minggu. Pendirian gedung gereja segera dilakukan setelah seorang warga jemaat menyumbangkan tanahnya yang terletak di desa Wosia untuk pembangunan gedung tersebut. Ibadah di Ruko dan pembangunan gedung terus berjalan sampai tahun 1999. Ketika konflik pecah, persekutuan jemaat dengan sendirinya berhenti. Hal ini dikarenakan sebagian besar warga jemaat adalah warga keuturunan Tionghoa telah mengungsi ke luar Tobelo. Dengan mengungsinya mereka pembangunan gedung gereja yang telah mencapai 60% juga terhenti.
Awal tahun 2002 warga jemaat mulai kembali ke Tobelo. Persekutuan jemaat kembali melakukan aktifitasnya dengan meminjam bekas Café dari sebuah hotel milik warga jemaat. Upaya pembangunan gedung gereja untuk sementara dihentikan sampai keadaan benar-benar pulih. Mulainya persekutuan jemaat juga memulai babak baru dari kehidupan jemaat Betlehem. Hal ini terjadi karena masuknya beberapa warga asli dan pengungsi luar Tobelo dalam persekutuan jemaat. Selain itu beberapa warga jemaat yang dulunya menjadi sponsor utama jemaat dalam pembiayaan telah memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Tobelo. Kenyataan itu membuat komposisi warga jemaat yang dulunya mayoritas warga keturunan Tionghoa berubah dengan semakin banyaknya warga jemaat lain yang masuk. Dalam pertemuan tua-tua jemaat diputuskan bahwa mereka tidak dapat lagi hidup dalam persekutuan yang dibatasi untuk kalangan tertentu saja[2]. Mereka perlu membuka diri dan menerima siapapun yang akan menjadi warga jemaat Betlehem. Dengan putusan ini maka sejak pertengahan tahun 2003, jemaat Betlehem mengundang siapapun yang hendak masuk bergabung menjadi warga jemaat Betlehem.
Kondisi keamanan yang semakin membaik membuat hotel tempat mereka melakukan ibadah juga mulai dibuka kembali. Walupun pemiliknya tidak pernah menyinggung untuk membuka kembali café hotel mereka, tetapi para tua jemaat menyadari bahwa mereka harus mulai kembali memikirkan gedung gereja. Percakapan tentang kelanjutan pembangunan gedung gereja yang telah mencapai 60% menjadi percakapan serius. Pertanyaan mendasar yang diajukan adalah apakah melanjutkan pembangunan tersebut ataukah membangun gedung gereja baru disamping gedung gereja yang belum selesai tersebut. Dalam pergumulan khusus, seorang warga jemaat yang dulunya ikut mensponsori pembangunan gedung tersebut mengungkapkan bahwa gedung gereja dulu dibangung dengan kesombongan mereka[3]. Mereka hanya hendak memperlihatkan kepada Sinode GMIH dan Jemaat Imanuel Gamsungi bahwa mereka bisa membangun gedung gereja yang lebih besar dan lebih megah tanpa bantuan siapapun. Dan ternyata kesombongan itu dihentikan oleh Tuhan. Akhirnya jemaat memutuskan untuk membangun baru gedung gereja dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari gedung gereja lama yang belum selesai. Pembangunan gedung gereja baru tersebut tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu tetapi dengan melibatkan seluruh warga jemaat Betlehem. Pembangunan yang dimulai tahun 2005 berakhir dengan peresmian gedung gereja pada 2009.
Warga jemaat Betlehem dapat dilihat dari statistik dibawah ini[4]:
Jumlah KK:127
Jumlah Jiwa:508 Jiwa
Jumlah Laki-Laki:243 Orang
Jumlah Perempuan:265 orang
Jumlah Sidi:319 orang
Jumlah Baptis:436 orang
Mata Pencarian Warga:
Petani:23 orang
Nelayan:12 orang
Pedagang Besar:60 orang
Pedagang Kecil:30 orang
Buruh Pelabuhan:4 orang
Buruh Bangunan:10 orang
Sopir/Ojek:7 orang
TNI/POLRI:1 orang
PNS:49 orang
Pensiunan:20 orang
Data di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar warga jemaat bergerak di sektor swasta. Anggota jemaat yang petani, nelayan, buruh bangunan, buruh pelabuhan, sopir/ojek dan pedangang kecil merupakan warga jemaat yang baru bergabung dengan jemaat Betlehem sesudah tahun 2002. Mereka sebagian besar adalah pengungsi dari berbagai daerah luar Tobelo seperti Galela, Morotai, Payahe dan Weda yang tidak kembali ketempat asal mereka sesudah konflik reda.
  1. III.             Konteks Jemaat
Anggota jemaat Betlehem berasal dari latar belakang yang beragam. Berbeda dengan jemaat lainnya dalam GMIH yang berdiri sebagai persekutuan jemaat dalam sebuah desa dan atau suku tertentu, jemaat Betlehem justru berdiri diluar ikatan-ikatan suku dan desa tersebut. Mulanya memang jemaat ini berdiri dengan didominasi warga keturunan Tionghoa, namun dalam perkembangannya telah terjadi perubahan dengan semakin banyak warga asli yang terlibat didalam persekutuan jemaat tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kebanyakan warga jemaat yang kemudian bergabung dengan jemaat Betlehem adalah pengungsi yang berasal dari luar Tobelo. Dengan kondisi yang demikian menambah keragaman latar belakang dari anggota jemaat Betlehem.
Tidak adanya budaya dominan dalam kehidupan jemaat membuat jemaat ini juga melakukan pendekatan pelayanan yang berbeda. Warganya kebanyakan bergerak pada sektor swasta membuat pemanfaatan waktu dalam pelayanan dilakukan mengikuti pola hidup warga. Sehingga jam peribadatan hanya diarahkan pada waktu tertentu yang diharapkan tidak menganggu waktu jemaat dalam menjalankan usahanya.
Kondisi ekonomi jemaat juga beragam. Tumpuan utama pendapatan jemaat berasal dari warga keturunan Tionghoa yang memiliki kekuatan ekonomi tertentu. Dalam beberapa kondisi, warga keturunan membiayai sendiri dan menyumbang kebutuhan gereja berdasarkan kemauan dan kemampuan mereka. Hal ini nyata dalam pembangunan gedung gereja baru dan seluruh perlengkapan yang ada didalamnya. Walaupun pembangunan tersebut melibatkan semua anggota jemaat, namun sumber dana terbesar berasal dari beberapa pengusaha yang merupakan anggota jemaat. Begitu juga pengisian perangkat dalam gereja seperti mimbar, sound sistem dan perlengkapan lainnya merupakan hasil sumbangan dari warga jemaat[5]. Namun sangat disayangkan peran mereka yang sangat luas dalam mendukung finansial gereja tidak dibarengi dengan keterlibatan mereka secara aktif dalam persekutuan jemaat baik dalam ibadah maupun dalam pertemuan-pertemuan lain yang dilaksanakan oleh jemaat. Keterlibatan warga keturunan tersebut lebih banyak pada ibadah hari minggu, sedangkan dalam ibadah lain warga keturunan tersebut sangat jarang mengambil bagian.
Jemaat Betlehem menghadapi kenyataan lain yaitu warga jemaatnya menjadi ‘incaran’ dari gereja-gereja di luar GMIH. Upaya yang dilakukan oleh gereja-gereja ini adalah dengan mengundang warga keturunan Tionghoa yang menjadi anggota jemaat untuk hadir dalam ibadah-ibadah yang mereka lakukan. Bahkan dalam kegiatan tertentu, mereka dilibatkan sebagai pelaksanakan dari kegiatan yang gereja-gereja tersebut lakukan. Dengan pola yang dikembangkan seperti itu, beberapa anggota jemaat menyatakan berpindah gereja, dan yang lainnya tetap menjadi anggota jemaat dan tetap berpartisipasi dalam pembiayaan jemaat namun tidak lagi terlibat dalam persekutuan ibadah. Beberapa anggota jemaat yang melakukan hal tersebut menyatakan bahwa hubungan mereka dengan jemaat Betlehem adalah hubungan historis. Mereka tidak mau meninggalkan gereja ini karena merekalah yang ikut mendirikan jemaat tersebut[6].
Telah disebutkan di atas bahwa warga jemaat Betlehem merupakan warga keturunan yang memiliki usaha tertentu. Bahkan dalam pengertian tertentu dapat dikatakan bahwa perekonomian Tobelo banyak dikendalikan oleh warga keturunan yang berada di Jemaat Betlehem.  Juga telah disebutkan bahwa kepedulian warga jemaat pada pembangunan fisik jelas terlihat dalam partisipasi mereka[7]. Kesediaan memberi yang diperlihatkan oleh warga jemaat keturunan Tionghoa untuk pelayanan gereja dan kegiatan-kegiatan gereja lainnya memperlihatkan kemampuan warga keturunan anggota jemaat Betlehem untuk membangun banyak hal di jemaat tersebut. Namun sangat disayangkan bahwa kemampuan tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan pelayan jemaat untuk memperluas pemahaman pengembangan jemaat dari sekadar pembangunan fisik ke pengembangan persekutuan melalui pelayanan yang lebih kreatif dan juga lebih memperhatikan pelayanan terhadap warga jemaat yang lemah secara ekonomi. Dari laporan keuangan yang ada per Desember 2010 memperlihatkan dengan jelas bahwa alokasi pembangunan dari pendapatan jemaat  sebesar 45%. Sisanya diperuntukan setoran ke sinode 30%, personalia 15% (pendeta, kostor dan majelis) sisanya untuk pelayanan diakonia dan pelayanan lain yang dianggap perlu[8].
Selain alokasi keuangan yang lebih banyak pada pembangunan, juga dalam rencana program kerja jemaat. Draf yang diajukan oleh majelis jemaat untuk dibahas pada awal bulan Maret 2011 termuat rencana kerja jemaat. Disebutkan bahwa target pelaksanaan penyelesaian pastori paling lambat bulan Juni 2011 dan sesudah itu akan dilanjutkan lagi dengan penyelesaian pembangunan gedung serba guna[9] jemaat Betlehem.
  1. IV.           Materi Pembinaan
Konteks hidup jemaat di atas maka penulis melihat hal penting yang perlu dilakukan dalam pembinaan adalah pada aspek pengajaran. Pembinaan dalam bidang pengajaran disini ditekankan pada upaya memberikan pemahaman yang benar kepada warga sidi tentang makna dari Pembangunan Jemaat. Untuk itu pokok-pokok materi pengajarannya adalah:
  1. Pengantar
  2. Pengertian Pembangunan Jemaat
  3. Pandangan Alkitab Tentang Pembangunan Jemaat
  4. Tujuan Pembangunan Jemaat
  5. Unsur Pembangunan Jemaat
  6. Aspek Pembangunan Jemaat
  1. 1.      Pengantar
Pembangunan merupakan hal penting dilihat dari berbagai aspek kehidupan manusia. Menurut kamus besar bahasa Indonesia bahwa pembangunan adalah proses, perbuatan, cara membangunnya dari atas atau melalui pemerintah diturunkan kepada rakyat[10]. Menurut Selo Soemardjan dalam tulisan yang disunting oleh Sularso Sopater:
Bahwa pembangunan sebenarnya mempunyai arti yang senada dengan moderenisasi. Moderenisasi adalah suatu proses social yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan. Berasal dari kata induk modern yang berarti gaya baru maka moderenisasi berarti proses pergantian dari gaya lama menjadi gaya baru. Dalam proses itu terjadi suatu perubahan dari masyarakat. Pembangunan juga menhendaki agar suatu keadaan yang dialami oleh manusia atau masyarakat diubah sehingga menjadi lebih menguntungkan bagi pihak yang membangun. Jadi mungkin bedanya hanya pada proses perubahan itu, dalam moderenisasi yang dipentingkan adalah sifat baru yang menggantikan gaya lama, sementara pembangunan yang dipentingkan adalah fungsi nyata untuk keperluan hidup manusia/masyarakat[11].
Defenisi-defenisi di atas menunjukan bahwa pembangunan berkaitan dengan dinamika perubahan masyarakat dalam lingkup Negara bangsa. Dinamika perubahan itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu cara membangun (melakukan dinamika perubahan) itu harus dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, sasaran utama dalam pembangunan sebenarnya adalah terjadinya dinamika perubahan masyarakat dari yang tidak layak menjadi layak, demikian juga dari yang buruk menjadi baik.
Perubahan-perubahan itu mencakup perubahan fisik dan perubahan non fisik. Perubahan fisik misalnya: lingkungan hidup menjadi lebih teratur, bersih dan sehat serta jalan-jalan diperbaiki, saluran-saluran air dibuat dan tanaman-tanaman pelindung dipelihara. Juga sarana-sarana seperti gedung sekolah, rumah sakit, kantor-kantor dibangun dengan maksud memperlancar pelayanan terhadap masyarakat. Ini yang dimaksudkan sebagai pembangunan fisik.
Perubahan non fisik menunjuk pada perubahan pola pikir, sikap, tingkah laku masyarakat yang lebih baik. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai pembangunan manusia. Dengan demikian pembangunan menunjuk pada pembangunan fisik dan pembangunan manusia.
Dari pemahaman menyangkut pembangunan yang dikemukakan di atas, maka menjadi jelas bahwa tujuan dari suatu pembangunan adalah terjadi perubahan dari suatu kondisi yang tidak diharapkan menuju kondisi akhir yang diharapkan. Dalam konsep seperti ini maka  istilah pembangunan harus dipahami sebagai suatu upaya yang sistematis untuk mengubah suatu keadaan. Dalam upaya ini, pembangunan tidak hanya dipahami sebagai suatu pembangunan yang bersifat fisik, tetapi lebih dari pada itu pembangunan juga meliputi suatu upaya untuk mengembangkan kehidupan manusia yang ada dalam proses pembangunan tersebut.
Pembangunan dalam Gereja itu penting, karena gereja hidup dan berada di tengah-tengah dunia dan mempunyai misi tertentu. Misi Gereja (yang adalah misi Allah) yaitu menyelamatkan dunia. Dengan demikian, pembangunan dalam Gereja yang sebenarnya terutama adalah mempersiapkan orang-orang percaya kepada Yesus tentang tanggung jawab sebagai panggilan Iman. Frans Magnis-Suseno, mengemukakan tentang tanggung jawab cendekiawan Katolik dalam pembangunan. Ia mengungkapkan bahwa tanggung jawab pembangunan berkaitan erat dengan panggilan iman. Maka menurutnya tanggung jawab cendekiawan Katolik terhadap pembangunan masyarakat merupakan realisasi penggilan kerasulan[12]. Panggilan kerasulan menurut Frans Magnis-Suseno adalah tanggung jawab dan partisipasi umat dalam pembangunan bangsa sebagai wujud hidup beriman. Untuk mencapai hal seperti ini dibutuhkan suatu upaya pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia. Hal ini bertujuan agar dengan pembangunan manusia yang benar akan dihasilkan partisipasi maksimal dari setiap warga gereja.
Dalam kehidupan Gereja, istilah pembangunan juga merupakan suatu istilah yang sering digunakan. Namun yang menjadi persoalan ialah istilah pembangunan lebih sering dipahami sebagai suatu upaya untuk mengembangkan sarana fisik dibanding dengan suatu upaya untuk membangun dan mengembangkan warga jemaat. Dari konsep pemikiran seperti ini rupanya bukan saja hidup dalam alam berpikir dari warga jemaat tetapi juga ada dalam pemikiran para pelayan Tuhan yang ada di Jemaat. J.L. Ch. Abineno membenarkan pandangan ini dengan mengungkapkan:
Dalam Gereja-gereja kita di Indonesia pembangunan jemaat tidak mendapat perhatian. Hal ini tidak mengherankan, alasannya: bahwa tradisi Gereja-gereja di Barat mengenal Gereja sebagai ‘lembaga’. Tradisi ini yang telah berpuluh-puluh tahun, bahkan dibeberapa tempat sudah beratus tahun lamanya ‘tertanam’ dalam gereja-gereja kita besar sekali pengaruhnya. Pengaruh itu masih tetap berlangsung sampai sekarang karena itu kalau pemimpin dari Gereja kita berkata-kata tentang Gereja, maka yang terutama mereka maksudkan adalah Gereja sebagai lembaga. Terhadap Gereja sebagai lembaga ini, Gereja-gereja kita jauh lebih banyak mempunyai perhatian dari pada Gereja sebagai persekutuan yang harus terus-menerus dibangun[13].
Dari apa yang diungkapkan oleh Abineno, maka dapat dilihat ada dua istilah yang dimunculkan berkaitan dengan pembangunan jemaat yaitu, ‘Gereja sebagai lembaga’ dan ‘Gereja sebagai persekutuan’. Dalam pengertian Gereja sebagai lembaga lebih menunjuk pada perhatian untuk memantapkan atau membesarkan institusi dimana didalamnya mencakup struktur organisasi Gereja. Dalam pemahaman Gereja sebagai persekutuan menunjuk pada dinamika hubungan anggota jemaat yang saling melayani karena bertumbuh dalam iman dan kasih. Aspek yang ke dua inilah yang dimaksudkan dengan pembangunan jemaat.
Dalam Alkitab istilah pembangunan jemaat juga muncul. Dalam tulisan ini penulis hanya mengemukakan pandangan rasul Paulus dalam Efesus 4 : 11-16 dan I Tesalonika 5 : 11.  Bagian-bagian ini dikemukakan oleh Abineno dan Rob Jenson/Jim Stevens. Dalam penjelasan mereka mengemukakan bahwa rasul Paulus dalam surat-suratnya memakai dua istilah yaitu pembangunan dan pertumbuhan. Pembangunan lebih menekankan aktifitas manusia sedangkan pertumbuhan lebih menekankan pekerjaan Roh Kudus. Walaupun nampak berbeda tetapi keduanya sangat berkaitan karena pembangunan adalah pekerjaan Roh Kudus yang menggunakan manusia sebagai alatnya[14]. Roh Kuduslah yang memberikan karunia-karunia. Karunia-karunia yang dimiliki umat/warga jemaat merupakan kekayaan yang perlu dikembangkan dalam rangka pembangunan jemaat. Pembangunan jemaat menjalankan dan memprogramkan tindakan-tindakan yang sistematis dan metodis untuk mengubah sesuatu. Dalam pemahaman ini juga maka pembangunan jemaat harus dipahami sebagai suatu upaya perubahan secara menyeluruh baik perubahan struktur yang diwujudkan dalam pembangunan jemaat serta bertitik tolak dari tanggung jawab semua orang yang bersangkutan terhadap keberadan dan pembentukan jemaat Kristiani dalam situasi ruang dan waktu mereka[15].
Dalam pemahaman seperti di atas, maka seharusnya manusia atau warga jemaat yang mendapat perhatian utama disamping pembangunan fisik. Hal ini menjadi sangat penting ketika melihat bahwa perkembangan zaman yang begitu dasyat sekarang ini juga telah mengubah kehidupan masyarakat. Bila pembangunan jemaat hanya dipahami sebagai suatu upaya pembangunan fisik maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu pertama: Warga Gereja akan kehilangan pegangan dalam perubahan pola hidup yang membuat mereka akan terseret dan kehilangan identitas sebagai umat Kristiani. Kedua: Warga Jemaat tidak akan siap menghadapi perubahan sehingga yang terjadi adalah suatu upaya untuk menarik diri dari perubahan itu.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada satu fenomena yang menarik di lingkungan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Fenomena ini mencakup upaya dari jemaat-jemaat dilingkungan GMIH untuk berlomba-lomba membangun Gedung Gereja yang besar dan megah. Pembangunan Gedung Gereja ini tentu saja tidak salah. Apalagi jika kita lihat bahwa pembangunan ini adalah bagian dari kesadaran warga jemaat tentang pentingnya rumah ibadah bagi berlangsungnya kehidupan beriman. Salah satu ukuran pertumbuhan iman jemaat adalah kehadiran warga jemaat dalam setiap ibadah minggu. Jika pembangunan gedung gereja itu merupakan wujud beriman warga maka pembangunan gedung gereja harus kita terima dengan sukacita. Namun akan menjadi salah bila pembangunan gedung gereja yang megah dan mewah hanya merupakan suatu upaya yang lepas dari refleksi iman warga jemaat. Untuk menonjolkan diri dan memperoleh kebanggaan sesaat.
  1. 2.      Pengertian Pembangunan Jemaat

Pembangunan Jemaat adalah suatu proses yang melibatkan semua komponen dalam  kehidupan suatu jemaat. Dalam pemahaman ini pembangunan jemaat bukan hanya sebuah istilah yang menyiratkan pembangunan fisik semata tetapi lebih dari pada itu Pembangunan Jemaat merupakan suatu proses pembangunan manusia/umat yang ada dalam jemaat.
Dalam Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia ke XI yang dilaksanakan di Surabaya, masalah membangun Gereja juga didefenisikan lebih jelas dalam dokumen Pokok-pokok tugas Panggilan Bersama (PTPB). Dalam dokumen tersebut membangun Gereja dipahami sebagai suatu upaya untuk memperlengkapi tubuh Kristus. Tujuannya tidak lain ialah agar setiap anggota Gereja dengan karunia-karunia yang berbeda dapat menghadapi setiap perubahan yang terjadi dimasa depan[16]. “Membangun gereja” yang dipahami PGI sama dengan “Pembangunan Jemaat” itu.
Dari apa yang diungkapkan di atas menjadi jelas bahwa pembangunan jemaat bukanlah pertama-tama membangun gedung gereja. Bahkan dalam pemahaman yang utuh yang dihasilkan oleh gereja-gereja di Indonesia ialah bahwa pembangunan gereja adalah pembangunan tubuh Kristus. Dalam membangun gereja, PGI dengan sangat jelas merumuskan bahwa yang perlu dan harus dibangun adalah warga gereja yang akan menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Pembangunan jemaat menjadi suatu hal yang penting ketika melihat bahwa perubahan yang terjadi dewasa ini begitu pesat. Perubahan ini mencakup perubahan pola hidup yang juga berdampak pada perubahan dalam memahami persoalan iman. Apa yang dulu diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak menjadi hal yang diragukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens bahwa perkembangan global yang terjadi di dunia saat ini telah masuk dalam seluruh kehidupan suatu bangsa sehingga mau tidak mau perlu penataan kembali identitas suatu bangsa[17].
Pergeseran budaya dari budaya tradisonal ke budaya modern juga menuntut perhatian tersendiri bagi Gereja. Menurut Zakaria Ngelow gereja selama ini telah lalai dalam hal mempersiapkan warga Gereja menghadapi perubahan yang terjadi karena Gereja sibuk dengan aktivitas ritual termasuk pembangunan gedung Gereja sehingga tidak mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi. Ngelow melihat bahwa upaya yang dilakukan oleh Gereja selama ini hanya bersifat eksklusif yang mengakibatkan kontak sosial dengan lingkungannya menjadi kecil. Akibatnya ialah potensi konflik yang muncul begitu besar[18].
GMIH memiliki panggilan khusus untuk memahami situasi pembangunan seperti ini. Apalagi dengan pemekaran wilayah dalam lingkup pelayanan GMIH yang menjadi beberapa daerah tingkat II, kebutuhan ini terasa semakin mendesak ketika terbukanya berbagai jalur komunikasi dan transportasi  yang mendorong percepatan perkembangan wilayah yang pada gilirannya juga mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat.  Pembiaran terhadap perubahan tersebut dengan hanya mengandalkan kemampuan warga jemaat dapat menyeret warga pada perubahan yang tidak diharapkan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh John Mansford Prior. Berdasarkan kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur ia melihat bahwa moderenisasi telah membawa perubahan yang sangat dasyat dalam kehidupan masyarakat lokal. Ia beranggapan bahwa moderenisasi telah meminggirkan masyarakat lokal. Menurutnya hal ini terjadi karena kurangnya peran gereja dalam mengantisipasi perubahan dan Gereja hanya sibuk dengan urusan intern. Karena itu Prior mengungkapkan :
Tugas dari pengembangan jemaat adalah menentukan kesempatan dan kemungkinan-kemungkinan, dan dengan penuh semangat berusaha mencapainya dalam kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik[19].
Ini berarti bahwa pengembangan/pembangunan jemaat menyangkut suatu upaya yang melibatkan warga jemaat untuk menanggapi setiap perubahan yang terjadi dan sekaligus mempersiapkan mereka untuk menghadapi perubahan tersebut.
Berdasarkan hal itu maka pembangunan jemaat sangat diperlukan. Sementara itu, pemahaman yang tumbuh saat ini adalah orientasi dari pembangunan jemaat hanya ada pada tataran fisik semata. Karena itu dalam bagian ini penulis mencoba mengajukan pandangan tentang pembangunan jemaat demi memberi kontribusi penting bagi GMIH umumnya dan Jemaat Betlehem khususnya.
  1. 3.      Pandangan Alkitab tentang Pembangunan Jemaat
Sebagai orang percaya maka titik tolak dari suatu uraian haruslah berdasar pada Alkitab. Untuk itu penulis mencoba secara khusus dalam bagian ini mengangkat dasar Teologis dari pembangunan jemaat. Secara lebih khusus penulis mencoba menelusuri pemahaman menyangkut pembangunan jemaat berdasarkan pendapat Rasul Paulus.
Paulus memahami Gereja sebagai tubuh Kristus. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sw,matoj tou/ Cristou/ (sw,ma = tubuh). Dengan memakai istilah tubuh Paulus hendak memberi kesan bahwa tubuh bukanlah suatu yang tidak bergerak atau tidak berubah. Dari sinilah muncul gagasan ‘membangun’ yang harus dipahami dalam pengertian mekanis dan ‘bertumbuh’ yang dipahami secara organis. Membangun dalam pengertian mekanis berarti ada suatu upaya yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Dalam hal ini pembangunan ini dilakukan oleh manusia yang telah diberi kemampuan oleh Tuhan sendiri. Sedangkan dalam bertumbuh yang dipahami secara organis berarti karya yang berlangsung sepenuhnya berasal dari Tuhan sendiri. Dalam pemahaman yang demikian keterlibatan manusia sangat kecil.
Di dalam Perjanjian Baru Pauluslah yang paling sering menggunakan istilah ‘pembangunan’ (Yunani: oivkodomh.n “oikodome”) dan “bertumbuh” (Yunani: ‘auxo’). Dalam kerangka ini Paulus melihat bahwa tugas rasul-rasul maupun nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar ialah untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus (Ef. 4:11-12).
Kata “oikodome” memiliki pengertian yang mengarah pada pembangunan kenisah atau rumah yang dimengerti secara fisik. Namun Paulus memberikan arti baru dengan memahami bahwa bangunan tersebut bukan hanya memperlihatkan bangunan tetapi lebih pada Gereja sebagai bangunan Roh Kudus.
Ditemukan alasan kuat untuk berbicara mengenai Gereja sebagai bangunan Roh Kudus.Oikodomein menunjuk kepada kegiatan apostolis, dimana Rasul sendiri mendirikan, meletakan dasar, dan membangun[20].
Dalam pemahaman di atas dapat dilihat bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang terjadi oleh pekerjaan rasul. Namun tentu saja bila pemahaman ini dilihat dari aspek bangunan fisik maka sangatlah tidak mungkin rasul sendiri mampu membangun sebuah gedung. Untuk itu pemahaman ini harus dilihat dalam kerangka bahwa yang dibangun oleh rasul adalah orang-orang yang ada dan terlibat dalam persekutuan tersebut.
Rasul Paulus sendiri lebih  memperjelas pemahaman ‘oikodome’ dengan melihat bahwa di dalam persekutuan yang terbentuk ada kegiatan yang dilakukan oleh warga gereja. Dimana kegiatan ini meliputi usaha untuk saling meneguhkan, membangun, menegur hal yang kurang baik, menguatkan yang lemah, mendukung mereka yang kecil hati dan bersabar dengan semua orang (Band. I Tes. 5 : 11-14)[21].
Dari uraian di atas jelas bahwa Paulus memakai istilah pembangunan untuk menunjuk pada kehidupan gereja yang dibangun oleh Allah sendiri melalui pekerjaan para Rasul. Selain itu, istilah ini menunjuk pada suatu kegiatan yang menyiratkan kegiatan yang terjadi di dalam persekutuan tersebut dimana ada upaya bersama dalam kehidupan warga gereja untuk saling memperlengkapi. Dalam pemahaman ini maka istilah pembangunan jemaat menunjuk pada kegiatan bersama dan demi kepentingan bersama. Kegiatan ini tidak mencari kepentingan perorangan tetapi kepentingan persekutuanlah yang lebih diutamakan.
Istilah ‘memperlengkapi’ yang digunakan Paulus  mengandung arti adanya suatu upaya yang melihat bahwa pembangunan jemaat adalah suatu yang dinamis sifatnya. Menurut Barclay, istilah memperlengkapi (Yunani= katartismo.n katartizein) mempunyai beberapa arti yaitu:
  1. Usaha untuk pemulihan tulang yang patah, atau sendi yang terkilir.
  2. Dalam bidang politik praktis, istilah tersebut dipakai untuk usaha mempertemukan dua kelompok yang berselisih agar pemerintahan berlangsung normal;
  3. Dalam Perjanjian Baru sendiri istilah tersebut berarti membereskan jala dan upaya untuk mendisiplinkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran agar ia kembali layak mengambil bagian dalam persekutuan[22].
Jadi gagasan dasar dari istilah tersebut ialah mengembalikan atau memulihkan sesuatu atau seseorang kepada kondisi semula yang memang adalah kondisi sepenuhnya. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa konsep memperlengkapi tersebut memberikan pandangan positif terhadap orang yang akan menerima hal tersebut. Bahwa upaya memperlengkapi hanya merupakan sebuah bantuan dalam upaya menemukan kembali keberadaan diri yang sesungguhnya.
Pemahaman untuk mengembalikan seseorang pada kondisi semula memberi makna yang jelas ialah bahwa upaya memperlengkapi juga terkait dengan upaya pastoral yang menuntun pada sikap hidup yang baik dalam satu lingkungan persekutuan. Dengan pemahaman seperti ini maka menjadi jelas bahwa dalam satu lingkungan persekutuan tidak ada yang dibiarkan berjalan sendiri, tetapi dirangkul dan diarahkan untuk dapat berjalan bersama kembali
Dengan membatasi pembahasan ini hanya disekitar Efesus 4 : 12 -16, maka gagasan ‘membangun’ diutarakan sebagai kegiatan dan tanggung jawab manusia. Lebih jauh lagi, terdapat kesan bahwa ‘tubuh Kristus’ tersebut belum selesai, atau dapat dikatakan masih dalam perjalanan menuju tujuan akhir. Pemahaman ini menunjuk pada suatu pandangan lain bahwa dengan istilah membangun ini tubuh Kristus sedang dalam upaya menuju kesempurnaan. Dari apa yang diungkapkan, jelas bahwa Paulus memahami bahwa pembangunan jemaat adalah suatu proses untuk memperlengkapi warga jemaat. Dalam upaya tersebut terkandung juga makna bahwa pembangunan jemaat melibatkan semua komponen dalam kehidupan suatu jemaat,
Berdasarkan pemahaman di atas, maka tugas pembangunan jemaat adalah hal yang sangat penting dalam upaya mempersiapkan warga jemaat. Upaya ini tentu saja bukan suatu upaya fisik tetapi lebih pada upaya yang mendorong kehidupan setiap anggota persekutuan untuk hidup dalam persekutuan, bukan untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Dalam makna seperti ini maka pembangunan jemaat bukanlah suatu upaya perorangan tetapi merupakan upaya bersama dan demi kepentingan bersama.
  1. 4.   Tujuan Pembangunan Jemaat[23]
Seperti yang diungkapkan dalam pembahasan di atas yaitu bahwa pekerjaan Roh Kudus telah memungkinkan terbentuknya Gereja melalui pekerjaan para Rasul. Dalam pekerjaan para Rasul tersebut upaya yang dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran kepada seluruh warga gereja untuk menyadari tugas dan tanggung jawabnya. Dalam tugas dan tanggung jawab tersebut yang dilihat adalah peran serta seluruh warga gereja untuk saling menopang dalam kehidupan bersama. Untuk itu yang selalu dicari adalah kepentingan bersama dan bukan kepentingan pribadi.
Seringkali ukuran dari kemajuan jemaat dilihat dari seberapa banyak program yang dikerjakan dan berhasil dijalankan, seberapa besar bangunan gereja yang mereka miliki serta seberapa jauh anggota jemaat terlibat dalam seluruh proses kehidupan berjemaat. Dalam memahami tujuan Pembangunan Jemaat maka kategori-kategori di atas perlu dilihat sebagai unsur yang harus dinilai kembali.
Keberhasilan suatu program jemaat tidaklah menentukan secara mutlak bahwa Gereja itu berhasil dalam membangun jemaat. Kategori ini bila hendak diletakan pada tujuan pembangunan jemaat harus dilihat dalam pemahaman bahwa program yang dihasilkan dan dikerjakan adalah program yang membawa perubahan dalam kehidupan warga jemaat. Perubahan-perubahan tersebut juga mencakup pada pemahaman yang sungguh dari warga jemaat bahwa dengan program yang dihasilkan dan dikerjakan warga jemaat menyadari sungguh-sungguh bahwa Allah terlibat dalam kehidupan mereka.
Program jemaat dapat jatuh pada hanya sekadar pengulangan terhadap apa yang telah dilakukan tanpa suatu upaya memahami perubahan dan perkembangan zaman[24]. Perlu diperhatikan bahwa perubahan zaman juga telah mengubah prilaku kehidupan umat. Dalam perubahan perilaku tersebut, nilai-nilai lama yang menjadi panutan telah mulai tergantikan. Jika program gereja tidak maju maka suatu saat gereja akan ditinggalkan.
Upaya mencari kepentingan bersama demi kemajuan suatu jemaat haruslah dilihat dalam kerangka berpikir bahwa Gereja adalah tubuh Kristus. Dalam pemahaman ini maka pertumbuhan atau perkembangan gereja adalah upaya menuju kesempurnaan. Sebagai manusia tentu saja kesempurnaan yang sesungguhnya tidak dapat diperoleh secara penuh karena keterbatasan manusia. Dalam keterbatasan inilah maka dalam Pembangunan Jemaat yang harus diperhatikan adalah upaya secara sungguh-sungguh untuk mencari kehendak Allah dalam tiap hal yang dikerjakan dan dilakukan.
Mencari kehendak Allah terkait dengan suatu upaya yang sungguh mendasarkan perkembangan jemaat pada firman Tuhan. Dengan kata lain apakah anggota jemaat menyadari dengan sungguh peran atau kehadiran Allah dalam kehidupan mereka setiap hari[25]. Inilah yang menjadi tujuan pertama dari Pembangunan Jemaat, yaitu berupaya memberikan kesadaran kepada warga jemaat bahwa Allah berperan dalam kehidupan mereka.
Tujuan Pembangunan Jemaat untuk memberikan kesadaran kepada warga jemaat tentang kehadiran Allah dalam kehidupan mereka memberikan makna penting bahwa Allah ikut terlibat dalam kehidupan mereka. Dengan menyadari bahwa Allah terlibat dalam kehidupan mereka setiap hari, warga jemaat akan dituntun untuk memakai kehidupan mereka bagi kemuliaan Allah. Menyadari bahwa Allah terlibat dalam kehidupan setiap hari, memberikan pandangan kepada warga jemaat bahwa urusan kepercayaan kepada Allah bukanlah sesuatu yang hanya terjadi dalam ibadah atau program-program jemaat lainnya. Dengan memahami hal ini warga jemaat ditantang untuk menunjukan keyakinannya kepada Allah dalam situasi dimana mereka berada[26].
Berdasarkan  pemahaman di atas kita dapat memahami bahwa tujuan pembangunan jemaat yang kedua adalah untuk mempersiapkan warga jemaat menghadapi situasi dunia tempat dimana mereka hidup. Tujuan ini tentu saja sejalan dengan pengertian gereja itu sendiri. Dimana dalam pengertiannya gereja dipahami sebagai persekutuan yang dikhususkan bagi Tuhan untuk di utus ke tengah-tengah dunia ini. Hal ini berarti bahwa kehidupan dunia inilah yang menjadi tempat pergumulan gereja. Sehingga setiap perubahan yang terjadi haruslah juga mendapat perhatian dalam kehidupan gereja.
Perubahan zaman dewasa ini telah menuntut dipikirkannya kembali pola hubungan gereja dengan dunia yang berubah. Gereja dan warga gereja tentu saja tidak bisa menarik diri dan tidak mengambil bagian dalam kehidupan saat ini. Bila gereja menarik diri maka fungsi pengutusan gereja sebagai garam dan terang dunia tidak akan terjadi. Untuk itu gereja perlu melibatkan diri dengan setiap persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Keterlibatan gereja dalam setiap perubahan yang terjadi memberikan peluang kepada gereja untuk menyuarakan pesan Allah ditengah-tengah merosotnya nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi dewasa ini. Kemajuan Ilmu Pengetahuan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi penemuan-penemuan yang terbaik bagi kehidupan umat manusia. Namun disamping itu kemajuan juga telah memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi diciptakannya senjata-senjata yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan dunia ini. Dalam pemikiran seperti Pembangunan Jemaat bertujuan memberikan arah kehidupan umat pada kedamaian sejati.
Dari apa yang diuraikan di atas menjadi jelas bahwa Pembangunan Jemaat bertujuan untuk memberikan kemampuan kepada jemaat untuk menghayati kehadiran Allah dalam kehidupan mereka setiap hari. Ketika setiap warga jemaat mampu untuk menghayati kehadiran Allah dalam hidup mereka, maka mereka akan mampu melakukan yang terbaik dalam hidup mereka demi memuji dan memuliakan Allah. Dengan kesadaran inipula maka tujuan yang ketiga yaitu memberikan kedamaian sejati akan terwujud karena setiap orang dengan sungguh menyadari bahwa mereka hanyalah mahluk ciptaan Allah.

5. Unsur Pembangunan Jemaat
Dalam penjelasan di bagian sebelumnya diperlihatkan bahwa pembangunan jemaat bertujuan mengembangkan partisipasi kehidupan anggota jemaat. Partisipasi yang diharapkan muncul dalam kehidupan jemaat melalui proses Pembangunan Jemaat adalah partisipasi yang tidak hanya dilakukan dalam kehidupan gerejawi tetapi lebih dari pada itu partisipasi mereka dalam menghadapi kehidupan keseharian mereka. Dalam pemahaman ini jelas bahwa partisipasi yang dibutuhkan adalah partisipasi dari seluruh anggota jemaat. Untuk itu dalam upaya Pembangunan Jemaat ini yang dibutuhkan adalah suatu upaya terencana yang melibatkan semua pihak dalam kehidupan jemaat.
Dalam bagian ini penulis melihat bahwa perlu ada suatu upaya yang lebih dari Pembanguan Jemaat dalam situasi dimana proses itu berlangsung. Untuk itu unsur-unsur dari suatu pembangunan jemaat adalah hal penting yang perlu dikemukakan. Hal ini akan menjadi tolak ukur bagi pembangunan jemaat dalam lingkup dimana proses itu akan berlangsung.
Untuk itu dalam bagian ini penulis mencoba mengkaji unsur-unsur penting yang perlu mendapat perhatian dalam proses Pembangunan Jemaat.
5.1. Konteks Hidup Jemaat
Pembangunan Jemaat adalah suatu upaya untuk menggerakan kehidupan warga jemaat dari suatu kondisi yang tidak diharapkan ke kondisi yang diharapkan. Dalam upaya ini maka partisipasi aktif dari seluruh anggota jemaat menjadi acuan penting.
Memahami bahwa proses Pembangunan Jemaat mengharapkan partisipasi seluruh warga jemaat, maka menjadi jelas bahwa warga jemaat menjadi inti dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan. Dengan kata lain anggota jemaatlah yang harus terlibat aktif.
Pemahaman di atas memberikan gambaran bahwa dalam melaksanakan upaya Pembangunan Jemaat konteks hidup lokal tidak dapat disingkirkan. Dalam pemahaman ini Hooijdonk berpendapat:
“…jemaat lokal merupakan situasi di mana teologi lokal dibentuk. Tidak hanya hanya mengamati konteks kultural, melainkan juga persekutuan beriman dalam mana teologi lokal diciptakan. Oleh karena itu Pembangunan Jemaat memperlihatkan bermacam warna-warni yang tidak sama…[27]
Dari apa yang diungkapkan di atas oleh Hooijdonk jelas bahwa konteks kehidupan jemaat menjadi hal penting dalam upaya membangun jemaat. Karena itu tidak ada satu patokan resmi yang baku yang dapat digunakan secara umum. Setiap tempat memiliki ciri khas sendiri bagi suatu proses Pembangunan Jemaat.
Dengan uraian di atas maka Konteks hidup warga jemaat menjadi bahan penting untuk menentukan proses Pembangunan Jemaat.
5.2. Kebudayaan
Kebudayaan adalah bagian penting yang tidak bisa dilepaskan untuk menjalankan proses Pembangunan Jemaat. Cliffford Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:
“…kebudayaan adalah suatu sistem konsepsional yang diwariskan, yang diragakan melalui bentuk-bentuk simbolis, melalui mana manusia mengkomunikasikan, melanggengkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai pola tindak mereka atas kehidupan”[28].
Dalam pemahaman ini terlihat bahwa kebudayaan memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Dalam kebudayaan manusia mencirikan dirinya sebagai satu kelompok masyarakat.
Perubahan zaman yang pesat telah menghadirkan persoalan tersendiri bagi kehidupan masyarakat umumnya dan warga gereja khususnya.
“Faktor-faktor sosial dan kultural main peranan dalam perubahan itu. Barangkali yang paling penting di antaranya ialah faktor moderenisasi dengan segala akibat dan tantangannya. Kalau mau membangun jemaat dewasa ini maka perlu membuat analisis yang teliti tentang apa yang terjadi dalam situasi kita sendiri..[29]
Moderenisasi telah membuat terjadinya benturan antara budaya lama dan budaya baru yang dihasilkan oleh moderenisasi. Dalam budaya baru tolak ukur yang digunakan adalah akal atau pikiran. Setiap pandangan diuji dengan apakah hal tersebut masuk akal atau tidak. Dengan pandangan ini tentu saja  berbenturan dengan budaya lama yang dianut oleh masyarakat dimana pertimbangannya bukan apakah itu masuk akal atau tidak tetapi apakah itu sudah sejalan dengan aturan atau tidak.
Benturan budaya telah mengakibatkan goyahnya kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi karena untuk menganut budaya baru yang asing mereka sama sekali tidak punya gambaran sedangkan untuk tetap pada budaya lama, kemajuan zaman telah mengurangi keyakinan mereka terhadap budaya yang selama ini mereka anut[30].
Dalam kebingunan budaya ini, warga jemaat menjadi rentan terhadap perubahan. Yang akan terjadi ialah pola budaya anutan yang dapat membuat mereka mengikuti apa saja yang sedang laku atau trend. Bila hal ini terjadi maka akan membuat warga jemaat terseret pada sikap hidup yang mementingkan diri sendiri.
Modernisasi dan pola budaya yang ada didalamnya adalah tantangan tersendiri bagi Pembangunan Jemaat. Dalam hal ini Pembangunan Jemaat harus berada pada posisi yang benar tepat untuk menentukan proses yang harus dilalui dalam memantapkan kehidupan bersama. Selain itu kebudayaan lokal haruslah mendapat perhatian yang penting sehingga nilai-nilai budaya tradisional dapat bertahan ditengah perubahan yang terjadi.
6. Aspek Pembangunan Jemaat
6.1. Aspek Pembangunan
Yang hendak dicapai dalam proses Pembangunan Jemaat adalah pertumbuhan iman warga jemaat dalam situasi yang mereka hadapi. Dalam pertumbuhan ini diharapkan partisipasi aktif dan kreatif yang nyata dalam kehidupan mereka. Hal ini berarti bahwa pembangunan jemaat harus dipahami sebagai suatu proses hidup yang membawa kebaikan bersama.
Aspek pembangunan dalam proses pembangunan jemaat menjadi titik tolak pertama untuk menilai keberhasilan suatu proses pembangunan jemaat. Namun yang harus dipahami disini ialah bahwa aspek pembangunan tidak dimaksudkan dalam pengertian pembangunan fisik. Tetapi pembangunan yang mengarah pada bertumbuhnya kehidupan jemaat dengan baik.
Sebagai suatu pembangunan maka target yang hendak dicapai adalah kesatuan yang mengarah pada partisipasi warga gereja. Pembangunan mencirikan adanya upaya sistematis. Untuk itu dalam aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan adalah perencanaan dan pelaksanaan setiap upaya pembangunan.
Pembangunan juga memberikan gambaran bahwa ada pertumbuhan yang sedang terjadi.
6. 2 Aspek Pengajaran
Pembangunan Jemaat adalah suatu proses pengajaran. Dalam kehidupan yang dilalui oleh setiap jemaat, harus selalu ada upaya untuk memberikan pemahaman yang benar tentang situasi hidup yang mereka lalui.
Pengajaran disini tentu saja bukan hanya dipahami seperti proses antara guru dan murid atau antara yang dituntun dan menuntun. Tetapi dalam aspek pengajaran yang hendak dicapai adalah setiap warga jemaat mampu untuk memahami situasi mereka masing-masing dan dengan iman mereka menghadapi situasi itu.
Aspek pengajaran yang terungkap di atas memberikan pemahaman yang jelas bahwa pengajaran disini lebih mencirikan proses saling menuntun. Dimana tidak ada yang lebih baik atau lebih pintar tetapi semuanya ada dalam proses belajar bersama.
Dengan memperhatikan aspek pengajaran ini, warga jemaat dituntun untuk dewasa dan siap dalam setiap perubahan yang terjadi. Ini juga berarti bahwa kita tidak hanya akan meletakkan warga jemaat sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang memiliki keunikan dalam situasi hidup yang mereka hadapi.
Berbagai cara dapat dilakukan dalam aspek pengajaran. Cara yang dapat dilakukan dengan memakai instrumen-instrumen yang ada dalam kehidupan jemaat seperti khotbah, katekisasi, pembinaan warga gereja dan cara-cara lain yang sejalan.
6.3 Aspek Perubahan
Dalam setiap kegiatan yang diharapkan adalah hasil akhir dari semua yang dikerjakan. Dalam proses pembangunan jemaat istilah hasil akhir haruslah dihindari. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa gereja sebagai tubuh Kristus harus selalu berada pada proses pertumbuhan menuju kesempurnaan. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa kesempurnaan gereja hanya akan diperoleh pada kedatangan Yesus yang ke dua. Untuk itu tidak ada istilah hasil akhir, tetapi gereja harus selalu berada dalam situasi untuk berubah.
Walaupun demikian, salah satu aspek pembangunan jemaat adalah perubahan. Hal ini menyangkut pemikiran bahwa setelah menjalani proses upaya Pembangunan Jemaat ada dampak yang terlihat dalam kehidupan jemaat.
Aspek perubahan mengindikasikan bahwa proses yang berjalan telah maksimal. Perubahan tersebut dilihat dalam kerangka bahwa partisipasi seluruh warga jemaat telah nyata dalam kehidupan persekutuan. Selain itu hal yang dilihat kemampuan mereka dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi.
Iman yang dewasa memberikan kesiapan kepada warga jemaat untuk tidak memisahkan urusan duniawi dengan urusan rohani. Dalam keterkaitan ini warga jemaat tidak akan terseret pada perubahan duniawi tetapi dengan penuh keyakinan menghadapi setiap perubahan tersebut.

[1] Wawancara dengan Thomas Tiosanto, Mantan Wakil Ketua Jemaat Betlehem 1995 – 2008
[2] Dokumen keputusan Rapat Sidi Jemaat, Februari 2003.
[3] Gedung Gereja Betlehem ketika mekar dibangun oleh 5 orang pengusaha di Tobelo dengan ukuran 35 x 80 Meter. Gedung gereja ini jika diteruskan pembangunannya merupakan gedung gereja terbesar dan termegah di GMIH. Konflik membuat 4 dari 5 orang pengusaha tersebut memutuskan untuk tidak lagi kembali ke Tobelo.
[4] Statistik Jemaat per Desember 2010.
[5] Jemaat Betlehem merupakan jemaat satu-satunya dalam sinode GMIH yang gerejanya diperlengkapi dengan pendingin ruangan.
[6]Wawancara dengan Ko’ Conga, Tobelo Desember 2010.
[7] Saat ini jemaat Betlehem sedang membangun 2 unit rumah pastori. Seperti pada pembangunan lainnya, keterlibatan jemaat hanya merupakan upaya agar warga jemaat lain juga ‘merasa’ ikut membangun. Padahal dana pembangunan tersebut bersumber pada beberapa orang warga jemaat.
[8] Laporan keuangan jemaat bulan Desember 2010.
[9] Gedung ini ketika dibangun direncanakan untuk gedung gereja, namun kemudian diputuskan untuk dijadikan gedung serba guna.
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustakan,1990, hlm.77.
[11] Solarso Soepater,et.all., Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm.7.
[12]  Frans Magnis-Suseno, Beriman Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 149.
[13] J.L. Ch. Abineno, Pokok-pokok Penting Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1989, hlm. 20.
[14] Ibid, bdk. Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja, Malang : Gandum Mas, 1996, hlm. 12-14.
[15] Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm
[16] Buletin Akademi Leimena No. 6 Januari – Februari 1990 Hasil Sidang Raya PGI XI Surabaya:  Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama, Jakarta:  Akademi Leimena, 1990, hlm.15.
[17] Antonio Gudens, The Third Way : Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 150-159
[18] Zakaria J. Ngelow, Mesianisme Kemanusiaan, dalam Jurnal STT Intim Maksar, edisi 6-Semseter Genap 2004, Makasar : STT INTIM, 2004, hlm.17.
[19] John Mansford Prior, Kebudayaan, Iman dan Sekularisme ; dalam Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.), Iman dan Transformasi Budaya, Ende: Nusa Indah, 1996, hlm.305.
[20] P.G. van Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup; Pengantar ke dalam Pembangunan Jemaat, Yogyakarta : Kanisius, 1996, hlm. 5.
[21] Ibid.
[22] Seperti yang dikutip oleh : Nazarius Rumpak, Membangun dan Bertumbuh, Paper Mata Kuliah Penggembalaan pada STT Intim Makasar.,
[23] Bahan-bahan yang diambil dalam bagian ini berasal dari P.G. van Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup, Yogyakarta : Kanisius,, 1996;  Jan Hendrik, Jemaat Vital  dan Menarik, Yogyakarta : Kanisius, 2002. ; Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, Yogyakarta: Kanisius, 1997
[24] Jan Hendrik, Jemaat Vital dan Menarik,  Yogyakarta:Kanisius, 2002, hlm. 19.
[25] Rob van Kessel, 6 Tempayan Air; Pokok-pokok Pembangunan Jemaat, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hlm. 7.
[26] Ibid.
[27] P.G. van Hooijdonk, Op.Cit, hlm.18.
[28] seperti yang dikutip oleh Jose Antunes de Silva, Inkulturasi Sebagai Suatu Dialog, dalam buku : Georg Kircberger dan John Mansford (ed.), Iman dan Transformasi Budaya, Ende : Nusa Indah, 1996, hlm. 183.
[29] J an Hendrik, Op.Cit, hlm.19.
[30] P.G. van Hooijdonk, Op.Cit, hlm.19.