Abstraksi:
Tulisan ini mempersoalkan mengapa ada fakta kekerasan dalam
masyarakat. Jika pada lazimnya orang
berpandangan bahwa kaum laki-lakilah sang pelaku kekerasan, maka saya dalam
tulisan ini hendak berpendapat bahwa
kekerasan sebenarnya dilakukan oleh orang yang ‘kuat’ dan punya ‘kedudukan’
tertentu. Oleh karena itu, ia
(kekerasan) bisa saja dilakukan baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Dimana pembuktian ide itu saya buat
dengan cara melihat pengalaman secara pribadi lalu menganalisanya berdasarkan
beberapa pemikiran yang sedang bergulir sekarang ini (metode komparatif).
Kata kunci: kekerasan, kuasa, kedudukan. laki-laki, dan perempuan
Abstract:
This article questioned why there is a fact of violence in society. If
people believe that men are the perpetrators of violence, then I thought:
violence can be done by a man or woman, specifically a 'place' within the community.
With this comparative method argument is true.
Keywords:
violence, power, status, male and female
Pendahuluan
Menurut Johan Galtung ada dua (2) hal
mendasar yang perlu kita cermati ketika berbicara tentang kekerasan atau budaya
kekerasan dalam masyarakat, yakni; penggunaan kekerasan dalam masyarakat dan
legitimasi terhadap penggunaan kekerasan itu.[1] Sedangkan studi
budaya kekerasan dalam masyarakat, menurutnya dapat
disoroti dengan cara
melihat bagaimana
suatu perbuatan kekerasan langsung dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi
dan menjadi bisa diterima oleh masyarakat.
Contoh: pembunuhan atas nama Negara atau ‘tuhan/agama’. Sedangkan cara yang lain adalah dengan membuat
realitas menjadi tidak jelas atau samar-samar, sehingga kita tidak mampu
melihat perbuatan atau fakta yang penuh kekerasan, atau setidak-tidaknya
sebagai perbuatan atau fakta yang keras.
Contohnya adalah abortus
provocatus.[2]
Berdasarkan pemikiran itu, saya
berkesimpulan ternyata soal dan fakta kekerasan dalam masyarakat sungguh sangat rumit dan kompleks untuk
dideskripsikan.
Berangkat dari apa yang
saya anggap sebagai sesuatu
yang sungguh
sangat rumit dan kompleks untuk dideskripsikan itu-lah, saya dalam tulisan ini hanya
mau berdiskusi di sekitar soal kekerasan; dilakukan oleh dan kepada siapa?. Topik ini saya pilih untuk menjadikannya sebagai
‘pintu masuk’ untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan realitas
kekerasan itu. Sedangkan metode yang
akan saya gunakan untuk membangun diskusi ini adalah metode komparatif, yaitu sebuah metode analisa yang
dilakukan dengan cara memperbandingkan dua (2) atau beberapa fakta (ide) yang
berbeda, untuk selanjutnya berusaha menemukan sebuah kesimpulan baru yang
kiranya bisa menjadi pegangan baik secara filosofis maupun sosiologis.[3]
Berangkat dari metodologi seperti itu, maka sebagai
ide pertama yang saya pilih untuk diperbandingkan dengan ide yang lain dalam
tulisan ini adalah bersumber dari pengalaman secara pribadi, sebagaimana yang
terjadi pada 30 tahun yang silam. Dalam
tulisan ini ide itu saya sebut dengan sub-judul: ‘Saya Orang Merdeka; Pengalaman Kekerasan dalam Keluarga. Ide ini
saya pilih, oleh karena saya merasa ia sangat bertentangan dengan ide umum yang
dianut oleh orang kebanyakan.
Selanjutnya ide dalam pengalaman secara pribadi ini kemudian saya
perbandingkan dengan beberapa pemikiran secara teoretik yang mendukungnya; yang
dalam tulisan ini saya beri sub-judul Dari Pengalaman
Pribadi ke Realitas Sosial. Tujuan yang ingin saya capai di sini adalah agar ide dalam
pengalaman pribadi itu bisa menjadi sebuah ide baru untuk dipikirkan oleh orang
kebanyakan. Dalam hal ini, saya
berusahan untuk melihat sejauh mana fakta dalam pengalaman pribadi itu bisa bermakna
social, supaya bisa melahirkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi untuk
dipikirkan.
Mudah-mudahan
dengan menggunakan metode seperti ini saya
akhirnya akan menemukan apa yang
saya cari. Sehingga impian untuk menciptakan budaya nir-kekerasan (tanpa kekerasan) dalam masyarakat bisa
menjadi fakta yang actual secara sosiologis. Berdasarkan
pada sejumlah alasan seperti itulah, saya lalu memberi judul tulisan ini
sebagaimana adanya.
Saya Orang Merdeka; Pengalaman Kekerasan
dalam Keluarga
Ketika saya kecil dulu, kedua
orang tua saya sangat alergi melihat
saya bermain di saat jam istirahat siang.
Suatu kali, ketika mereka sedang istirahat (tidur) siang, saya pergi
tanpa mereka tahu dan bermain di sungai dengan sebuah rakit. Tanpa sadar saya tiba-tiba terbawa arus
sungai, hingga akhirnya tersangkut pada serumpun bambu. Peristiwa ini kemudian menyebabkan seluruh
tubuh saya penuh dengan luka goresan bambu.
Saya pasti tidak bisa
menyembunyikan insiden itu kepada kedua orang tua saya! Ketika saya ditanyai tentang luka-luka itu,
saya lalu berterus terang. Harapan saya
dengan sikap berterus terang ini adalah agar dikasihani dan tidak kenah
marah. Tetapi ternyata tidak, akhir dari
keterus-terangan itu, saya malah
dicubit oleh ibu dan dipukul oleh ayah dengan ikat pinggangnya. Saya pasti
menangis dan terasa sakit hati ini, lalu menjadi trauma yang
berkepanjangan. Saya ingat, ketika saya
dicubit dan dipukul (saat itu),
tiba-tiba terlontar dari mulut saya sebuah ungkapan: “Papa-mama! Saya orang merdeka, jangan dijajah seperti ini”.
Demikian pengalaman masa silam
saya ketika berumur 10 tahun. Kini,
sudah 30 tahun berlalu. Awalnya saya
berpikir bahwa pengalaman yang menyakitkan itu hanya menjadi pengalaman pribadi
saja. Namun setelah menjadi dewasa dan
mempelajari kehidupan keluarga secara umum, saya menemukan ternyata pengalaman
pada 30 tahun yang silam itu, masih ada dan malah seringkali dianggap sebagai
metode yang dipercaya dapat membentuk karakter anak oleh hampir semua orang
tua.
Saya lalu bertanya: mengapa
metode yang menyakitkan ini masih digunakan?
Apakah tidak ada metode yang lain?
Apakah para orangtua tidak tahu metode mendidik anak yang lebih
manusiawi; yang nir-kekerasan? Atau jangan-jangan hal ini berhubungan erat
dengan ideologi tertentu yang sudah berurat akar dan dianut sebagai sebuah
kebenaran dalam masyarakat, yakni: ‘kekerasan’ dapat membentuk karakter baik
seorang anak? Lihat saja, ada banyak anak di dalam keluarga yang ‘diajar’ oleh
orang tuanya dengan rotan, dan ada pula banyak anak didik di sekolah yang
‘diajar’ oleh gurunya dengan rotan. Pertanyaan saya
selanjutnya adalah: mengapa bisa begitu? Saya menduga
hal itu bisa terjadi karena dilegitimasi oleh pepatah (nasehat?) yang mengatakan: ‘di ujung rotan ada
emas’.
Dari Pengalaman Pribadi ke Realitas Sosial
Dari uraian di atas menjadi
jelas bahwa praktek dan tindak kekerasan, tidak saja dilakukan oleh kaum
laki-laki (papa), namun juga oleh oleh
kaum perempuan; mama saya. Dalam hal ini,
pengalaman pribadi saya berbicara atau menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan
yang dianut oleh orang kebanyakan, yakni: kekerasan adalah kekerasan oleh kaum
laki-laki, dan terhadap kaum perempuan; kekerasan adalah kekerasan kepada
perempuan, bukan oleh perempuan.
Dalam kaitan
dengan hal itu, Imanuel
Gerrit Singgih dalam analisanya terhadap teks Hakim-hakim 4 - 5 yang menceritakan
tentang Debora dan Barak, dan mengedepankan kisah Yael sebagai seorang perempuan pembunuh berdarah dingin dalam
4:17-22, memberi sebuah kesimpulan yang menarik untuk kita simak dalam kaitannya
dengan pandangan bahwa kekerasan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Yael
menurut Singgih, bahkan melakukan tindak kekerasan ganda dalam narasi
tersebut. Pertama, ia menjadi citra yang negative dalam konteks perempuan, karena
terkesan membangun perselingkuhan dalam konteks politik kekuasaan dan menjadikan
objek selingkuhnya sebagai ‘kambing hitam’ keharmonisan palsu demi kekuasaan
politik bersama Israel. Kedua, dan oleh karena karaktek negative
ganda itulah ia disebut sebagai seorang perempuan culas dan tidak dapat
dipercaya bahkan pembunuh berdarah dingin
dalam konteks tindak kekerasan terhadap laki-laki.[4]
Berdasarkan
kesimpuan itu, Singgih menegaskan secara
empiris kita tidak bisa membuktikan bahwa hanya laki-laki-lah sang pelaku
kekerasan, oleh karena kekerasan selalu adalah kekerasan terhadap perempuan (sekalipun hal itu kelihatannya sangat
dominan). Maka dari pada berpikir
mencari-cari ‘penyebab gender’ dari realitas kekerasan itu, maka menurut
Singgih; akar dari semua fakta kekerasan sebenarnya adalah ‘kekuatan’ dan
‘kekuasaan’. Kekuatan dan kekuasaan itu
akan membuat orang rela melakukan kekerasan dengan menjadikan orang lain sebagai korban, dan
yang terlibat itu bisa laki-laki, namun bisa juga perempuan.[5] Akhirnya sebagai penutup analisanya, Singgih kemudian
mengajak kita semua baik laki-laki
maupun perempuan untuk berhenti melakukan perang ontologi, yaitu antara
ontologi berwujud kekerasan sebagai kekerasan terhadap laki-laki, dan ontologi
berwujud kekerasan terhadap perempuan.[6]
Dalam kesadaran
yang sama, seorang teolog perempuan Indonesia: Basilica Dyah Putranti ketika
membahas ‘Konflik antaragama: Sebuah
Pendekatan Sosialogis Feminis’, menilai bahwa dalam masyarakat kita sedang
terjadi sebuah kecenderungan feminisme eksklusif dan kurang proporsional dalam
melihat fakta kekerasan dan paham feminisme yang inklusif. Dimana kecenderungan
feminisme eksklusif dan kurang proporsional itu menurut Putranti ditandai oleh
adanya paham dan kecenderungan struktur analisa sosial yang selalu menempatkan
laki-laki sebagai pelaku kekerasan dan perempuan adalah korban dalam segala
persoalan ketimpangan gender dalam masyarakat.[7]
Kesadaran
sosiologis Putranti dan penegasan Singgih di atas, pada dasarnya telah membantu
saya untuk membaca fakta kekerasan yang saya alami pada 30 tahun yang
silam. Dimana oleh karena saya adalah ‘anak’ dan
biasanya anak (apalagi anak yang masih
kecil) selalu dianggap sebagai orang yang
‘lemah’ (bahkan terkadang juga ‘bukan
orang’, alias tidak punya kekuatan dan kuasa), maka kedua orang tua saya
yang menganggap dirinya sebagai ‘orang’ (yang
kuat dan punya ‘kuasa’ sebagai orang tua), merasa ‘layak’ mencubit dan
memukuli saya dengan ikat pinggang. Hasil
pembacaan seperti ini sungguh-sungguh memperlihatkan dengan jelas bahwa ‘kekuatan dan kekuasaan’ adalah ‘penyebab’ dari segala realitas kekerasan dan kritik
terhadap pemahaman dan kecenderungan
feminisme yang eksklusif dan kurang proporsional tadi.
Memperkuat hal
yang sangat penting tersebut, Daniel
K. Listijabudi ketika mempelajari pemikiran Rene Girard seorang kritikus sastra
asal Perancis dalam analisanya terhadap kisah Kain dan Habel, menyimpulkan
bahwa peristiwa pembunuhan Kain terhadap Habil adiknya itu justru dipengaruhi
oleh system dan mekanisme: orang ‘kuat’ dan punya ‘kuasa’ melawan orang ‘lemah’
yang tidak punya ‘kuasa’. Dimana Habel
yang adalah ‘adik’ Kain, tentu tidak ‘berdaya’ menghadapi ‘kekuatan’ dan
‘kekuasaan’ Kain sebagai ‘kakaknya’.
Dalam hal ini Habel sebagai yang ‘adik’ telah berfungsi sebagai korban
pengganti (the surrogate victim) dari
‘status’ dan ‘kewajaran’ Kain sebagai ‘kakak’ yang ‘berkuasa’ dan yang sedang
marah akibat persembahannya tidak diterima Tuhan. Dimana the
surrogate victim itu selalu berpihak kepada yang kecil dan lemah serta yang
gampang diserang.[8]
Berdasarkan seluruh pemikiran seperti di atas, saya merasa agak kurang
setuju (senang?) dengan
kecenderungan pengkutuban gender dalam rangka membahas realitas kekerasan dalam
masyarakat, sebagaimana yang lazim dilakukan selama ini. Seolah-olah menurut
kecenderungan ini, yang menjadi pelaku utama dan yang bersalah adalah kaum
laki-laki, sedangkan yang menjadi korban dan yang wajib dibela adalah kaum
perempuan. Memang kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta dimana laki-laki
sering berlaku ‘keras’ dan melakukan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, ada benarnya juga apa yang ditegaskan oleh badan
pengurus PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi
di Indonesia) ketika memberi pengantar dalam suratnya tertanggal 15
Februari 2012 kepada para penulis Jurnal SOPHIA Edisi I tahun 2012, yakni: gerak keberpihakan agama
bagi dominasi patriarki semakin memperindah “tarian kekerasan” dalam
lenggak-lenggok diskriminasi yang memarginalkan karena keperempuanannya sebagai
hal yang wajar diterima.[9]
Namun demikian, menurut saya fakta
laki-laki
sebagai pelaku utama tindak kekerasan dalam masyarakat dan penegasan badan
pengurus PERUATI tersebut
di
atas, tidak bisa
dibaca sebagai fakta antara laki-laki terhadap perempuan, melainkan harus
dibaca sebagai fakta antara orang yang punya ‘kuasa’ terhadap orang yang
‘tidak’ punya kuasa, alias orang yang
lemah. Sedangkan baik orang yang punya
dan orang yang
‘tidak’ punya kuasa, biasanya tidak saja kaum perempuan, tetapi juga kaum
laki-laki. Karena itu, menurut saya adalah
kurang seimbang jika soal kekerasan itu dibaca dengan ontology antara gender.
Berkaitan dengan hal itu, Kwok
Piu-Lan, seorang teolog feminis asal Hongkong dalam penelitiannya tentang
metode tafsir Alkitab mengemukakan bahwa masalah bias gender dalam Alkitab sebaiknya jangan dipahami (ditafsirkan) dalam rangka pengkutuban
kategori-kategori oposisi, seperti: antara laki-laki dan perempuan, antara
budak dan hamba, antara kulit putih dan kulit hitam, melainkan semua
kategori-kategori pengkutuban dan oposisi itu harus didekolonisasikan (ditafsir ulang secara baru dalam konteks
pasca kolonialisme, tafsir postcolonial).[10] Contoh yang dikemukakan oleh Kwok Pui-Lan
adalah masalah apartheid di Afrika Selatan.
Bahwa apartheit secara konstitusi sudah dinyatakan tidak berlaku sejak tahun 1986, tetapi dalam kesadaran
masyarakat Afrika Selatan masalah apartheit itu justrtu masih menjadi pola dan live style masyarakat. Terutama dari sudut penguasaan
fasilitas-falisitas Negara yang masih dikuasai oleh kaum kulit putih. Maka menurut Kwok Pui-Lan ada tiga (3) hal
yang bisa dilakukan oleh masyarakat di Afrika Selatan agar bisa (betul-betul)
bebas dari kungkungan ideology apartheid.
Antara lain: Pertama, melakukan Imagination
Historical, yaitu menyadari bahwa ada kultur-kultur masa lalu, yang buruk,
yang telah dianut oleh masyarakat dan sudah dianggap sebagai sebuah
kebenaran. Kedua, melakukan Imagination
Dialogical, yaitu sikap terbuka pada tradisi-tradisi baru yang membebaskan
dan memberdayakan masyarakat. Dan yang
ketiga, melakukan Imagination Diasporical,
yaitu proses memasukkan tradisi-tradisi luar yang dianggap dapat memberdayakan
kehidupan masyarakat.[11]
Berangkat dari pemikiran
tersebut, menurut hemat saya pembicaraan/diskusi di sekitar upaya mengatasi masalah kekerasan
dalam masyarakat sebenarnya haruslah
diorientasikan kepada pembentukan kesadaran masyarakat bahwa ternyata yang
sering dan cenderung melakukan
praktek/tindak
dan budaya kekerasan dalam masyarakat adalah orang-orang yang mempunyai
‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’, baik secara ekonomi, politik, social, budaya,
bahkan agama, dan
mereka itu selalu terdiri dari baik laki-laki maupun perempuan.
Penutup dan Rekomendasi
Demikianlah uraian
saya mengenai fakta kekerasan dalam masyarakat.
Sekedar mengingatkan kembali dan menjadi kesimpulan untuk dipikirkan dalam
kerangka membangun diskusi dan relasi sosial di tengah masyarakat, secara
khusus dalam konteks budaya kekerasan adalah mengingat nasehat Singgih di atas,
yakni: kita semua baik laki-laki maupun
perempuan harus berhenti melakukan perang ontologi, yaitu antara ontologi
berwujud kekerasan sebagai kekerasan terhadap laki-laki, dan ontologi berwujud
kekerasan terhadap perempuan, sambil bersikap terbuka terhadap pemahaman bahwa
yang melakukan kekerasan sesungguhnya adalah orang-orang yang punya ‘kuasa’ dan
‘kedudukan’ tertentu dalam masyarakat, dan mereka itu biasanya adalah baik
laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya,
agar ide tersebut bisa menjadi sebuah karakter (tabiat) masyarakat dalam relasi
social untuk berupaya membangun sebuah tradisi dan budaya nir-kekerasan, saya
berdasarkan tiga (3) langkah yang diusulkan oleh Kwok Piu-Lan di atas, merekomendasikan
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, melakukan Imagination Historical, yaitu menyadari
bahwa ada kultur-kultur masa lalu, yang buruk, yang telah dianut oleh
masyarakat dan sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Salah satunya adalah melakukan kajian untuk
mengkritisi berbagai ideology lama serta membangun wacana-wacana baru yang
segar seperti: merevisi pepata yang berkata: ‘ada emas di ujung rotan’ menjadi
‘ada rotan dimata orang tua/guru’. Revisi
semacam ini bertujuan agar ideology kekerasan fisik yang diakibatkan oleh
pepata ‘ada rotan di ujung emas’ perlahan-perlahan dielimir untuk disangkali
sebagai sebuah kebenaran.
Kedua, melakukan Imagination
Dialogical, yaitu sikap terbuka pada tradisi-tradisi baru yang membebaskan
dan memberdayakan masyarakat. Memang saya sadari bahwa untuk merubah sebuah tradisi
bukanlah ibarat kita membalik telapak tangan.
Namun hal itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Salah satu yang mungkin dan bisa dikerjakan
dalam kerangka berpikir seperti itu adalah: menyediakan sarana dan media
informasi dan komunikasi di ruang publik agar proses pertukaran berbagai
informasi termasuk informasi tentang kultur dan tradisi baru yang memberdayakan
masyarakat cepat mendarat dan diterima secara luas. Misalnya dengan cara menulis atau mendukung
kegiatan ‘Koran masuk desa’.
Ketiga, melakukan Imagination Diasporical, yaitu proses memasukkan tradisi-tradisi
luar yang dianggap dapat memberdayakan kehidupan masyarakat. Hal ini hampir sama posisinya dengan yang
kedua di atas. Apalagi di zaman dan era
globalisasi seperti sekarang ini, saya merasa sekalipun tidak diusulkan ia
sementara berlangsung dan terus akan terjadi.
Usulan yang sangat mungkin dikerjakan adalah: mempraktekkan sesuatu yang
baru dan dirasa akan memberdayakan itu mulai dari diri sendiri. Semoga!
Kepustakaan:
Bakker, A.,
& Achmad Charis Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius. 1990.
Galtung, J., Kekerasan Budaya, dalam: Thomas Santoso
(editor), Teori-teori Kekekarasan, Jakarta, Ghalia Indonesia. 2002.
Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination & Feminist
Theology. Louisville Kentrucky, Westminster John Knox Press, 1989.
Lefebure, L.D. Revelation The Religious and Violence.
Maryknoll, New York, 1989.
Listijabudi,
D.K., Tragedi Kekerasan; Menelusuri Akar
dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel.
Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997.
Putranti, B.D.,
& Asnath Niwa Natar (Editor), Perempuan,
Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Praksis, Yogyakarta, PSF
UKDW Yogyakarta. 2004.
Singgih, E.G., Dua Konteks; Tafsir-tafsir Perjanjian Lama
sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia.
2009.
Lampiran
surat PERUATI Nomor: 24/BPP PERUATI/II/2012,
tanggal 15 Februari 2012.
Bio Data Penulis:
Sefnat
Hontong lahir di Akelamo Sahu Halmahera Barat tanggal 8
September 1972. Mengambil Sarjana Sains
Teologi (S.Si) pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Gereja Masehi Injili di Halmahera
(GMIH) Tobelo Wari Halmahera Utara, dengan presentasi Skripsi “ Lama dan Baru” Suatu Studi Filosofis
Komparatif Tentang Keberadaan Manusia Dalam Filsafat Eksistensialisme Dan
Terang Alkitab, lulus tahun 1996. Menjalani masa vikaris (persiapan menjadi Pendeta) sejak bulan
April 1997 dan ditahbiskan menjadi Pendeta GMIH di jemaat “EPPATA “ Samuda
Galela pada Oktober 1998. Sesudah itu melayani sebagai Ketua Jemaat di jemaat GMIH
“EPPATA” Samuda (Nopember 1998 s/d Nopember 2001) dan jemaat GMIH “NITA” Duma
Galela (Nopember 2001 s/d Nopember 2005).
Sejak Januari 2006 s/d Juni 2008 melanjutkan pendidikan S-2 Teologi
(M.Th) pada Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, dengan
presentasi tesis: “Rekonsiliasi Halmahera
di Sekitar Pusara Korban” Kajian Teologi Sosial. Sejak 1 Oktober 2010 ditugaskan oleh BPH
Sinode GMIH menjadi dosen tetap di Universitas Halmahera (Uniera). Sekarang menjabat sebagai Kaprodi Ilmu
Teologi di Fakultas Teologi Uniera.
[1] Johan
Galtung, Kekerasan Budaya, dalam: Thomas
Santoso (editor), Teori-teori Kekekarasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 183.
[2] Johan
Galtung, Kekerasan Budaya,……. hlm.
184.
[3]
Lihat: Anton Bakker & Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hlm. 50
& 83-90.
[4] Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; Tafsir-tafsir Perjanjian Lama
sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung
Mulia, 2009. hlm.26.
[7] Basilica
Dyah Putranti, Konflik Antaragama: Sebuah Pendekatan Sosiologis Feminis, dalam:
Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (Editor), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Praksis,
Yogyakarta, PSF UKDW Yogyakarta, 2004, hlm. 88.
[8] Daniel
K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan;
Menelusuri Akar dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel. Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997,
hlm.70.
[10] Kwok
Pui-Lan, Postcolonial Imagination &
Feminist Theology. Louisville Kentrucky, Westminster John Knox Press, 1989,
p. 29-51
[11] Kwok
Pui-Lan, Postcolonial Imagination……….p. 29-51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar