Rabu, 18 Juli 2012

DIALOG ANTAR AGAMA DAN KEUNIKAN KRISTUS



Oleh:
Imelda Kahiking

PENDAHULUAN
Berbicara tentang dialog antar agama dan keunikan Kristus bukan hanya terjadi dalam suatu pertemuan formal saja yang di dalamnya kita mencari tentang keunikan keagaamaan kita masing-masing, tetapi lebih dari itu, bahwa dialog juga dapat terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.  Dengan alasan ini saya merasa penting untuk mengangkat suatu tulisan ini untuk mengungkapkan reaslitas yang ada di Indonesia. Bagi saya dialog antar agama serta melihat keunikan Kristus tidak terlepas dari berbagai persoalan yang ada di sekitar kita. Untuk itu disamping topik di atas, saya akan mencoba mengkorelasikan dengan realitas yang ada, yang menggambarkan dialog itu terjadi dan melihat keunikan Yesus di dalamnya.
Tidak dapat dipungkiri, bangsa Indonesia terbangun oleh kesadaran akan realitas kemajemukan, yaitu kemajemukan ras, etnis, agama dan kultur. Dalam pembentukan bangsa ini, kepelbagaian itu justru dilihat sebagai suatu kekayaan yang tak ternilai. Itupula yang digambarkan dalam semboyan negara republik Indonesia, “ Bhineka Tunggal Ika “, sebagai mana tertulis dalam lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam rentang sejarah perjalanan bangsa ini, perjumpaan antar  ras, etnis, agama dan kultur tersebut turut menyumbang dalam pembentukan identitas sebagai bangsa Indonesia: bangsa yang majemuk. dan  dengan kearifan dari berbagai latar belakang tersebut terbangun suatu masyarakat yang harmonis dan saling menghargai di tengah kepelbagaian. Salah satu hal yang mampu mengikat masyarakat harmonis di tengah kemajemukan tersebut  adalah semangat toleransi. Berbeda dengan corak Islam di Timur Tengah, Islam yang berkembang di Indonesai sangat ramah terhadap budaya lokal dari suku-suku bangsa Indonesia.
Sangat  disayangkan, sekitar satu setengah dekade terakhir ini, kehidupan yang harmonis dan saling mengahargai itu sedikit banyak terusik dengan semakin mengentalnya semangat sektarianisme ( paham yang berlawanan dengan ideologi kebangsaan ).[1] Hal ini, misalnya, terlihat semakin menguatkan kecenderungan memperjuangkan aspirasi lewat partai-partai berbasis agama, munculnya produk-produk hukum dan kebijakan negara yang berbasis syariah Islam. Upaya memperjuangkan pelaksanaan syariat Isilam di Indonesia seakan isu yang tak berkesudahan, walau sesungguhnya para pendiri bangsa ini sudah sejak awal bertekat menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis dengan berasaskan pancasila.
Kecenderungan ini semakin menguatirkan kini,  ketika dalam realitas kehidupan sesehari, semangat kebersamaan di tengah masyarakat majemuk ini semakin tergerus oleh semangat intoleransi.[2] Di waktu lalu, kompas ( media massa ) menurunkan tajuk rencana yang mengulas hasil penelitian di lima perguruan tinggi besar ( UI, ITB, UGM, Universiat Airlangga dan Barawijaya ) dengan hasil 80% mahasiswa menginginkan diberlakukannya syariah Islam sebagai dasar negara dan bukan Pancasila. Hal ini tentu saja menguatirkan karena kecenderungan sektarinisme tersebut menguat di kalangan generasi muda. Yang lebih mengenaskan, penelitian keberagaman guru-guru agama SMA yang dilakukan oleh PPIM-UIN 2008 menunjukan, 52,4 % responden keberatan jika umat nonmuslim menjadi pemimpin, 63, 6 % keberatan jika nonmuslim menjadi kepala sekolah dan 73,1% keberatan jika non-muslim membangun rumah ibadah.
Semangat intoleransi ini paling nyata mewujud dalam berbagai kasus-kasus penutupan gereja diberbagi tempat di Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Banten. Berbagai gereja dan tempat ibadah yang selama beberapa tahun aman tentram bersama masyarakat di sekitarnya, tiba-tiba mendapat gangguan dari sekelompok orang yang hadir dengan panji-panji Islam. Selama kurun waktu 2004-2007 ada 118 kasus penutupan gereja dan selama 2008-2009 ada 28 kasus,  sedang Januari-September 2010 terdapat 29 kasus. Berbagai tindak kekerasan juga mewarnai beberapa kasus penutupan gereja. Dengan demikian maka realitas ini mengusik keprihatinan kita, pertanyaannya apakah kita membiarkannya, atau kita bertindak dengan kesadaran yang sungguh akan persoalan kebangsaan yang adalah persoalan kita bersama yang jika dibiarkan mungkin akan memakan korban bahkan kita sendiri.  Ada suara yang berteriak dimanakah tanggungjawab pemerintah? Dimanakah peran agama? dimanakah jiwa nasionalisme kita? Dan bagaimanakah sikap Gereja dalam mencerminkan ajaran-ajaran Yesus
Peran Pemerintah
Menurut A.A Yewangoe Persoalan kebangsaan adalah proyek bersama, dimana kemiskinan dan [3]persoalan pluralisme adalah persoalan yang harus diperhatikan. Sehingga pada tataran pengambilan kebijakan pemerintah jangan tinggal diam melihat persoalan bangsa yang semakain hari semakin rumit untuk diatasi sehingga mengarah kepada diskriminasi terhadap kaum minoritas yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang seharusnya menjadi perhatian khusus, sehingga rakyat indonesia tidak lagi berteriak akan persoalan diskriminatif. Sebab realitas kebangsaan kita adalah pluralisme sebagai modal dan kekayaan yang dapat menjadi daya tarik bagi bangsa atau negara lain, jika ini disadari dan ditata secara baik oleh pihak-pihak terkait khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tetapi jika ini dibiarkan oleh pemerintah sebagai penanggung jawab negara, maka negara berdosa terhadap rakyatnya sendiri bahkan Tuhan Yang Maha Esa. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan, pemerintah adalah utusan Allah.
Peran Agama-agama
Jika secara etimologi definisi agama di bagi menjadi A dan Gama yang artinya tidak kacau. Maka sebenarnya kita akan sulit menerjemahkan dengan konteks kita yang telah saya gambarkan di atas. Agama jika dikaitkan dengan konteks sekarang maka agama sebagai penyebab kekacauan. Ajaran-ajaran agama tidak lagi dihayati sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan manusia yang mengakui bahwa selain kekuatan manusia ada kekuatan yang dahsyat melebihi kekuatan apapun. Sehingga agama diyakini sebagai penentu jalan kebenaran kini telah bergeser pada hal-hal dogmatis yang menciptakan tembok-tembok pemisah, lama atau cepat akan terjadi gesekan-gesekan sosial. Ajaran agama yang telah menjerumuskan ke paham sektarianisme, dan mendiskriminasi manusia lain, adalah ajaran sesat. Agama yang ada di Indonesia seharusnya lebih menguasai diri dari berbagai paham yang sedang berkembang. Agama harus memiliki konsep-konsep dialog yang menyehatkan sehingga dapat memberi kehidupan bagi setiap manusia yang beragama.
Dimanakah Jiwa Nasionalisme Kita?
Jika kita menyadari sesungguhnya, bahwa kita benar-benar mencintai negara Indonesia yang lahir dari sebuah pergumulan penderitaan bersama untuk merebut kemerdekaan, maka sebenarnya perbedaan adalah instrumen keindahan, antar agama,etnis, dan ras yang tertuang dalam ideologi negara kita yaitu Pancasila. Seharusnya para pemimpin kita jangan pernah melupakan sejarah karena dari sejarahlah kita dapat bercermin bahwa sesungguhnya kemerdekaan yang kita rebut adalah impian para pendahulu kita yang mengorbankan harta benda, jiwa dan raga untuk pembebasan rakyat Indonesia adalah jiwa kepahlawanan yang tercermin dari semangat Yesus untuk membebaskan kaum tertindas sampai Ia mati di Kayu Salib. Sehingga bagi penulis jiwa pahlawan adalah jiwa Yesus. Inilah korelasi antara Yesus dengan Pahlawan yang telah berkorban demi negara, siapapun dia, dia pasti selalu dikenang karena jasanya terhadap negara. Dengan demikian para tokoh-tokoh agama seharusnya berjiwa nasionalis dan mengakui bahwa Muhammad dan Yesus sebagai pejuang Humanis yang pengaruhnya dapat dirasakan secara universal dan diakui oleh dunia.
Sikap Gereja dalam Konteks Kekinian
Sikap gereja seharusnya memahami di mana gereja bertumbuh dan berkembang dan beraviliasi terhadap kehidupan keberagaman dalam konteks keindonesiaan yang sering mengalami dinamika dilematis dalam mencari solusi-solusi dalam problem keagamaan yang selalu terjadi ahir-ahir ini. Realitas menggambarkan bahwa bentrokan-bentrokan dogmatis adalah yang utama yang sering diperdebatkan pada aras grass root (akar rumpu). Apa yang sebenarnya terjadi pada problem keagamaan dalam konteks keindonesiaan, yang menyebabkan mata rantai harmonis tercabik-cabik disebabkan oleh paham ekslusif, triumphalisme, yang  tertutup dan yang menganggap lebih benar dari yang lain. inilah realitas sosial yang semakin memprihatinkan. “Yang lain menganggap musuh bagi yang lain”. Seakan-akan paham homo homoni lupus telah menjadi dokrin bagi orang-orang yang katanya beragama. Gereja seharusnya jangan pernah merasa pesimis dalam menghadapi problem kebangsaan, karena problem kebangsaan yang kita hadapi sekarang ini adalah tanggung jawab kita bersama. Marilah kita belajar pada apa yang telah dipersaksikan oleh Yesus dalam menjalankan amanat Allah di tengah-tengah dunia Palestina pada zaman Yesus sehingga homo homini salus ( = sumber berkat ) dapat tercipta [4]. Bagi penulis, semua agama yang ada di Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga dengan cinta kasih yang mewarnai kehidupan gereja dengan demikian Kasih, berarti kita mencari dan memperoleh hidup kita dalam melayani hidup orang lain tanpa menjadi sama dengan mereka. Kasih berarti pula dengan rela dan spontan kita meninggalkan dunia kita dan memasuki dunia saudara kita yang beragama lain, dan berbicara dengan mereka. Inilah yang dilakukan oleh Yesus. Ia meninggalkan ke-Allahan-Nya, dan menjadi sama dengan manusia berbicara, menderita, mati, dan bangkit kembali bagi manusia dan oleh sebab itu Ia benar-benar Allah dan manusia. Ia inilah kasih, karena kasih itu meruntuhkan tembok pemisah Allah dan manusia dan membangun persekutuan antara Allah dan manusia. Hidup dalam persekutuan dengan Allah menciptakan adanya tanggung jawab terhadap hidup orang lain sebagai sesama, kita tidak mungkin hidup sejahtera dan damai. Sehingga dalam pandangan iman kristiani walaupun kita berbeda agama, namun sebagai manusia kita adalah warga Allah, anak-anak Allah yang mendiami suatu dunia sebagai rumah tangga Allah. Oleh karena itulah, dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan sedang mengalami perubahan ini justru penting sekali diwujudkan kesaksian dalam perbuatan serta saling  dan untuk meningkatkan mutu kehidupan ini.[5] Oleh karena itulah kesaksian ini tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan terhadap sesama. Sesama adalah siapa saja yang dihadirkan oleh Tuhan disekitar kita tanpa memandang agama, suku dan ras. Di dalam pelayanan yang menjadi pusat perhatian selalu bukan diri sendiri, melainkan orang yang dilayani itu demi kebaikannya. Inilah yang mungkin lebih bermanfaat bagi keseluruhan bangsa Indonesia.  Guna mencapai kedamaian yang dicita-citakan bersama maka gereja-gereja terdorong diterapkannya paradigma pro rakyat sebagaimana dipromasikan dalam dokumen agape yang dijalankan atas prinsip cinta kasih yang berorientasi kepada Allah, manusia dan alam semesta, dimana etos dominannya, membenarkan diri sendiri, atau ajang prestasi. Melainkan  mewujudkan cinta kasih di tengah-tengah kepelbagaian untuk mengutamakan keadilan, damaisejahterah, dan sukacita bersama dari semua untuk semua. Di tengah kondisi masyarakat yang sedang dikuasai oleh kelompok-kelompok fundamentalis seperti itu gereja seharusnya merefleksikan kebaikan Allah di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia. Pergumulan ini harus diwujudkan dalam kehidupan sosial untuk mempersaksikan wajah  Yesus dalam tindakan membangun dialog antar sesama manusia dalam kepelbagaian. Merefleksikan kebaikan Tuhan kepada semua orang, akan menghindarkan kita dari kecendurungan mengedapankan klaim-klaim kebenaran, dan pada gilirannya akan mendorong kita untuk lebih solider dalam kehidupan kebersamaan ini.


[1] Presentasi pada Kongres GMKI, 25-30 Nopember 2010 di Makasar
[2] Pendeta Gomar Gultom HKBP, Sekretaris Umum PGI.
[3] Bahana Majalah Rohani Populer Januari 2010.
[4] Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, Persetia. Jakarta, 1995. Hlm. 20-21.
[5] Utomo R. Bambang, Hidup Bersama Di Bumi Pancasila, Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan, Malang 1993 hal. 281.
Foto: 
1. Imelda Kahiking file FB, 18 Juli 2012.                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar