Rabu, 18 Juli 2012

LITURGI SEBAGAI SARANA PEMBERDAYA UMAT


Oleh Sefnat Hontong


ASAL USUL & KEKELIRUAN MAKNA LITURGI DALAM GEREJA
Kata liturgi sebagaimana yang lazim kita kenal dan kita sebut-sebut dalam konteks sebuah kebaktian (ritual-kultus) sebenarnya berasal dari kata Yunani Kuno: leitourgia yang umumnya digunakan dalam konteks profan dan politis.  Kata ini dibentuk dari dua (2) akar kata yakni: ergon yang berarti ‘karya’ atau ‘bakti’, dan kata leitos (dari kata benda laos) yang berarti umat, bangsa, rakyat.  Jadi secara harafia, kata leitourgia berarti: berkarya untuk rakyat/bangsa/orang banyak.
Dalam kebiasaan Yunani Kuno, kata leitourgia selalu menunjuk kepada: kerja atau pelayanan secara sukarela yang dilakukan oleh orang-orang demi kepentingan umum.
Pengertian ini kemudian diambil-alih oleh gereja pada sekitar abad ke-3 dan ke-2 SM dan mengalami pembobotan arti dengan lebih menekankan pada aspek ritual-kultus, dan menunjuk padapenyembahan manusia kepada Allah dalam Yesus Kristus.
Menurut Peter Brunner, seyogyanya kata liturgy dalam gereja harus dimaknai dalam dua (2) hal, yakni:
1.       Karya/bakti Allah kepada manusia di dalam Yesus Kristus
2.       Bakti/karya manusia kepada Allah dalam Yesus Kristus.
Pengertian pertama menunjuk kepada karya inisiatif Allah untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.  Sedangkan pengertian kedua menunjuk  pada tanggapan manusia atas karya Allah yang penuh kasih itu. 
Namun pada umumnya, kita hanya menggunakan pengertian yang kedua saja dan menghubungkannya ketika kita berbicara tentang liturgi.  Dalam hal ini yang disebut dengan liturgihanya bersangkutan dengan bakti manusia sebagai tanggapannya kepada kasih Allah, --- yang sering diistilahkan dengan ibadah atau kebaktian kepada Allah---.  Bahkan yang lebih parah lagi ialah pengertian ini malah disempitkan lagi sehingga hanya menunjuk kepada SEBUAH ritus semata-mata; hanya tata-upacara saja. Ibarat urut-urutan acara dalam sebuah pertemuan.
Ini adalah sebuah bahaya.  Mengapa? Karena kita kehilangan makna mendasar dari sebuah prosesi liturgis, yakni sebagai bentuk perayaan terhadap karya Allah dan karya kita di dalam Yesus Kristus, dan hanya terkungkung layaknya dalam sebuah upacara bendera di hari senin saja.
Jadi, ketika kita berbicara tentang liturgy sebenarnya kita berbicara tentang sebuahperayaan tentang karya Allah dan karya manusia. Oleh karena penekanannya pada sebuah perayaan, maka hakekatnya adalah kegembiraan dan sukacita, bukan kaku dan formalistis.  
Coba perhatikan bentuk liturgy dalam gereja kita! Umpamanya untuk kebaktian KBG, BPW, BPP, BPAR, Pergumulan, pantai, malam penghiburan, HUT, dll.  Apa yang selalu terjadi?
Foto Peneguhan Penatua dan Syamas GKI JIBS (16 Januari 2011)

BEBERAPA UNSUR UTAMA DALAM TATA KEBAKTIAN GEREJA.
1.       Votum/Salam:  Kita dipanggil beribadah dan disapa oleh Tuhan (Bukan mohon kehadiran Tuhan—justru kita berkumpul karena Tuhan Allah yang memanggil. Ini arti dasar dari gereja sebagai eklesia: ek-kaleo berarti “dipanggil keluar untuk berkumpul”.)
2.       Introitus:  Masuk ke dalam suasana ibadah dan menyatakan untuk apa kita berkumpul (peristiwa apa yang dirayakan/waktu menurut tahun gereja, dll)
3.       Pengakuan Dosa:  Sadar bahwa kita berhadapan dengan kehadiran Tuhan, perasaan pertama adalah malu dan tidak layak oleh karena dosa kita.  Atas dasar kesadaran itu, kita mengaku dosa kita dan menyerahkan diri pada hukuman Allah.
4.       Pemberitaan Anugerah:  Oleh kasihnya dalam Yesus Kristus, Allah berkenan menerima kita meskipun kita berdosa.  Ternyata kita dipanggil bukan untuk dihakimi, melainkan untuk dirangkul oleh anugerah Allah.
5.       Pujian:  Sebagai tanggapan terhadap kebaikan Allah, kita berani untuk bangkit dari dosa dan berdiri di depan Tuhan.  Jemaat mengucapkan syukur atas anugerah Allah dalam bentuk puji-pujian.
6.       Pemberitaan Firman:  Sekarang kita siap untuk mendengarkan maksud Tuhan melalui pemberitaan FirmanNya.  Doa, pembacaan Alkitab, khotbah, dan pendengaran jemaat serta pergumulan hatinya merupakan satu kesatuan yang secara bersama-sama mengandung Firman Tuhan pada jemaat yang telah berkumpul untuk mendengarkannya.
7.       Tanggapan Jemaat:
a.          Jemaat menanggapi pemberitaan Firman dengan Pengakuan Iman.  Kalau tadi pendeta bicara dan mereka dengar, sekarang mereka membalas.  Kalau tadi khotbah terfokus pada sekelompok pendengar tertentu, sekarang mereka menempatkan diri dalam solidaritas dengan “semua orang percaya dari segala tempat dan waktu.”
b.         Iman disertai dengan perbuatan, yang dilambangkan dengan persembahan.  Dalam iman, kita mempersembahkan keseluruhan hidup kita pada Tuhan.   Persembahan jemaat bukanlah korban yang dituntut oleh Allah, melainkan ucapan syukur dan sekaligus partisipasi kita dalam misi pelayanan yang Allah berikan pada kita (karena hasil persembahan dipakai untuk membiayai pelayanan gereja).
c.          Akhirnya, jemaat menyatakan keprihatinannya pada dunia sekitar dengan membawa doa syafaat yang sifatnya mohon pertolongan Tuhan bagi sesama manusia, masyarakat, dan alam semesta.
8.       Berkat dan Pengutusan:  Dikuatkan dengan pengampunan akan dosanya, diarahkan oleh Firman, dan diteguhkan sebagai utusan Allah dalam misi kasih dan perdamaianNya, jemaat ke luar dengan keyakinan bahwa berkat Allah menyertai mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar