Oleh: Sefnat Hontong
Saya Orang Merdeka; Pengalaman Kekerasan dalam Keluarga
Ketika saya kecil dulu, kedua orang tua saya sangat alergi melihat saya bermain di saat jam istirahat siang. Suatu kali, ketika mereka sedang istirahat (tidur) siang, saya pergi tanpa mereka tahu dan bermain di sungai dengan sebuah rakit. Tanpa sadar saya tiba-tiba terbawa arus sungai, hingga akhirnya tersangkut pada serumpun bambu. Peristiwa ini kemudian menyebabkan seluruh tubuh saya penuh dengan luka goresan bambu.
Saya pasti tidak bisa menyembunyikan insiden itu kepada kedua orang tua saya! Ketika saya ditanyai tentang luka-luka itu, saya lalu berterus terang. Harapan saya dengan sikap berterus terang ini adalah agar dikasihani dan tidak kenah marah. Tetapi ternyata tidak, akhir dari keterus-terangan itu, saya malah dicubit oleh ibu dan dipukul oleh ayah dengan ikat pinggangnya. Saya pasti menangis dan terasa sakit hati ini, lalu menjadi trauma yang berkepanjangan. Saya ingat, ketika saya dicubit dan dipukul (saat itu), tiba-tiba terlontar dari mulut saya sebuah ungkapan: “Papa-mama! Saya orang merdeka, jangan dijajah seperti ini”.
Demikian pengalaman masa silam saya ketika berumur 10 tahun. Kini, sudah 30 tahun berlalu. Awalnya saya berpikir bahwa pengalaman yang menyakitkan itu hanya menjadi pengalaman pribadi saja. Namun setelah menjadi dewasa dan mempelajari kehidupan keluarga secara umum, saya menemukan ternyata pengalaman pada 30 tahun yang silam itu, masih ada dan malah seringkali dianggap sebagai metode yang dipercaya dapat membentuk karakter anak oleh hampir semua orang tua.
Saya lalu bertanya: mengapa metode yang menyakitkan ini masih digunakan? Apakah tidak ada metode yang lain? Apakah para orangtua tidak tahu metode mendidik anak yang lebih manusiawi; yang nir-kekerasan? Atau jangan-jangan hal ini berhubungan erat dengan ideologi tertentu yang sudah berurat akar dan dianut sebagai sebuah kebenaran dalam masyarakat, yakni: ‘kekerasan’ dapat membentuk karakter baik seorang anak? Lihat saja, ada banyak anak di dalam keluarga yang ‘diajar’ oleh orang tuanya dengan rotan, dan ada pula banyak anak didik di sekolah yang ‘diajar’ oleh gurunya dengan rotan. Mengapa? karena ada pepatah yang mengatakan: ‘di ujung rotan ada emas’.
Dari Pengalaman Pribadi ke Realitas Sosial
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa budaya dan praktek kekerasan tidak saja dilakukan oleh kaum laki-laki, sekalipun ada asumsi umum yang mengatakan bahwa kekerasan adalah ‘milik’ kaum laki-laki. Dalam kasus yang saya alami ternyata kekerasan bisa dilakukan juga oleh kaum perempuan (mama). Imanuel Gerrit Singgih (2009:19) pernah menulis sebagai berikut: secara empiris kita tidak bisa membuktikan bahwa hanya laki-laki-lah sang pelaku kekerasan, oleh karena kekerasan selalu adalah kekerasan terhadap perempuan (sekalipun hal itu kelihatannya sangat dominan). Maka dari pada berpikir mencari-cari ‘penyebab gender’ dari realitas kekerasan itu, maka menurut Singgih akar dari semua fakta kekerasan sebenarnya adalah ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’. Kekuatan dan kekuasaan itu akan membuat orang rela melakukan kekerasan dengan menjadikan orang lain sebagai korban, dan yang terlibat itu bisa laki-laki, namun bisa juga perempuan.
Dalam kasus yang saya alami, saya rasa oleh karena saya adalah ‘anak’ dan biasanya anak (apalagi anak yang masih kecil) selalu dianggap sebagai yang ‘lemah’ dan ‘bukan orang’ (tidak punya sama sekali kekuatan dan kuasa), maka kedua orang tua saya yang menganggap dirinya sebagai ‘orang’ (yang kuat dan punya ‘kuasa’ sebagai orang tua), merasa ‘layak’ mencubit dan memukuli saya dengan ikat pinggang, telah memperlihatkan dengan jelas bahwa kekuatan dan kekuasaan adalah ‘penyebab’ dari realitas kekerasan dalam masyarakat. Daniel K. Listijabudi (1997:70) ketika mempelajari pemikiran Rene Girard seorang kritikus sastra asal Perancis dalam analisanya terhadap kisah Kain dan Habel, menyimpulkan bahwa peristiwa pembunuhan Kain terhadap Habil adiknya itu justru dipengaruhi oleh system dan mekanisme: orang ‘kuat’ dan punya ‘kuasa’ melawan orang ‘lemah’ yang tidak punya ‘kuasa’. Dimana Habel yang adalah ‘adik’ Kain, tentu tidak ‘berdaya’ menghadapi ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’ Kain sebagai ‘kakaknya’. Dalam hal ini Habel sebagai yang ‘adik’ telah berfungsi sebagai korban pengganti (the surrogate victim) dari ‘status’ dan ‘kewajaran’ Kain sebagai ‘kakak’ yang ‘berkuasa’ dan yang sedang marah akibat persembahannya yang tidak diterima Tuhan. Dimana the surrogate victim itu selalu berpihak kepada yang kecil dan lemah serta yang gampang diserang.
Berdasarkan pemikiran seperti itu, saya merasa agak kurang setuju dengan kecenderungan pengkutuban gender dalam rangka membahas realitas kekerasan dalam masyarakat, sebagaimana yang lazim dilakukan selama ini. Seolah-olah menurut kecenderungan ini, yang menjadi pelaku utama dan yang bersalah adalah kaum laki-laki, sedangkan yang menjadi korban dan yang wajib dibela adalah kaum perempuan.
Memang kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta dimana laki-laki sering berlaku ‘keras’ dan melakukan kekerasan terhadap perempuan. Namun fakta ini menurut hemat saya tidak bisa dibaca sebagai fakta antara laki-laki terhadap perempuan, melainkan harus dibaca sebagai fakta antara orang yang punya ‘kuasa’ terhadap orang yang ‘tidak’ punya kuasa,alias orang yang lemah. Dan orang yang ‘tidak’ punya kuasa atau yang lemah itu, biasanya tidak saja kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki.
Berkaitan dengan hal itu, Kwok Piu-Lan (1989: 52), seorang teolog feminis asal Hongkong mengemukakan bahwa masalah bias gender sebaiknya jangan dipahami dalam rangka pengkutuban kategori-kategori oposisi, seperti: antara laki-laki dan perempuan, antara budak dan hamba, antara kulit putih dan kulit hitam, melainkan semua kategori-kategori pengkutuban dan oposisi itu harus didekolonisasikan (ditafsir ulang secara baru dalam konteks pasca kolonialisme, tafsir postcolonial). Contoh yang dikemukakan oleh Kwok Pui-Lan adalah masalah apartheid di Afrika Selatan, bahwa apartheit secara konstitusi sudah dinyatakan tidak berlaku sejak tahun 1986, tetapi dalam kesadaran masyarakat Afrika Selatan masalah apartheit itu justrtu masih menjadi pola dan live style masyarakat. Terutama dari sudut penguasaan fasilitas-falisitas Negara yang masih dikuasai oleh kaum kulit putih. Maka menurut Kwok Pui-Lan ada tiga (3) hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat di Afrika Selatan agar bisa (betul-betul) bebas dari kungkungan ideology apartheid. Antara lain: Pertama, melakukanImagination Historical, yaitu menyadari bahwa ada kultur-kultur masa lalu, yang buruk, yang telah dianut oleh masyarakat dan sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kedua, melakukan Imagination Dialogical, yaitu sikap terbuka pada tradisi-tradisi baru yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat. Dan yang ketiga, melakukan Imagination Diasporical, yaitu proses memasukkan tradisi-tradisi luar yang dianggap dapat memberdayakan kehidupan masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut, menurut hemat saya pembicaraan/diskusi tentang masalah kekerasan dalam masyarakat sebenarnya harus diorientasikan kepada pembentukan kesadaran kita bahwa ternyata yang sering melakukan praktek dan budaya kekerasan dalam masyarakat adalah orang-orang yang mempunyai ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’, baik secara ekonomi, politik, social, budaya, bahkan agama, dan mereka itu selalu terdiri dari baik laki-laki maupun perempuan. Maka jika kita hendak menjawab pertanyaan sebagaimana yang tertulis sebagai judul tulisan ini: ‘Kekerasan oleh & kepada siapa?’ Maka jawabannya adalah: oleh yang ‘kuat’ kepada yang ‘lemah’ dalam seluruh dimensi kehidupan manusia dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar