Rabu, 25 Juli 2012

HIJAU

Oleh: Ater Tjaja
(Alumnus Fakultas Teologi UNIERA)



Dia tak hanya memancarkan warna, subur plus sabar. Banyak kelompok yang riang gencar mewarnakan cirinya dengan sejuta harapan abadi kekal, entah kelompok politik -partai-pemburu kekuasaan, atau pun kelompok lainnya seperti pecinta alam bahkan grup band juga menamakan diri mereka dengan istilah Dia (hijau daun). Dia di sini menggambarkan tentang bumi yang penuh kehidupan. Tidak heran ketika sebuah sketsa wilayah terstruktur apik dalam sebuah peta, Dia dominan sebagai yang de iure pada pencitraan lokasi subur kendati de fakto buram tercoklatan atau langsung saja, menghitamkan. Memang kosmos berjuta warna berjuta intepretasi. Namun tak sedikit juga yang setuju dia adalah yang kuat warna lainnya tuk lukiskan oikos, di samping biru si air asin. Katanya diajuga berarti paru-paru dunia, ausstromungen kehidupan yang tak bisa di rusak gampang saja ketika menit terus melompat lewati musim mengganti di oikos ini. Ousianya demikian, sampai tak pelak dia tercermin dalam bait-baris eulogi di dinding-dinding pengharapan. Noumena ini terpatri dalam prasastri hati sebagian makhluk, entah orakel religi yang terwariskan atau sadar karena sadar. Lihat, agama semit saja mengkisahkan dia sebagai bagian yang seinsweisennya dari sebuah pengelolahan positif ketika mulanya ‘tak beraturan (kacau balau/Ibrani: tohu wabohu). Dia yang adalah logo kesuburan bersama yang lain merupakan bagian yang mustahil tak saling tergantung – tak saling mendukung. Pengelolahan itu diwasiatkan bagi makhluk yang dibilang manusia. Makhluk ini bedanya dengan makhluk lain kemungkinan – dimungkinkan – berakal, kendati dalil ini lahir dari manusia itu sendiri sebagai pembelaan kelakuan.Salah satu kesamaan manusia dengan binatang adalah sama-sama perlu makan. Iwan Fals bernyanyi ; manusia sama saja dengan binatang, selalu perlu makan. Namun manusia lebih kejam (dalam hal cari makan) dari binatang. Dengan merasa memiliki wasiat, pengelolahan diplesetkan. Suprema terrenus di tangan manusia. Dengan itu muncul aku-aku yang mentahbiskan diri menjadi deus terrenus, maka kebenaran aku mutlak berlaku bagi tatanan kosmos. 
Modus mencari makan dalam wasiat pengelolahan berbuntut pada eksploitasi gede-gedean yang merubah warna kosmos menjadi kembali tak beraturan, kembali kacau balau. Kontras dan ironis! Sang Pemberi wangsit menata dari kacau menjadi baik, sementara si penerima wangsit membalikannya: dari baik menjadi kacau dengan alasan sederhana : biasalah, namanya juga cari makan. Si dia, lambang kehidupan, terkuburkan ’kat exokhen kerasukan manusia dalam pengelolahan. Liar tak lagi milik binatang namun juga identik dengan manusia. Dengan liarnya, segala sesuatu termasuk dia di babat, tumbang tak tersisa demi kilauan ”gale-gale” dalam perut bumi. Liar karena meloncat tembok norma konsensus yang tercetuskan akibat keinginan harmonis kosmos dari yang terucapkan sampai yang tertulis. Binatang pasti murung bahkan cemburu karena keliarannya di curi manusia. Tak sadar manusia melepaskan diri dari bagiannya dalam la durre kosmos.  Lihatlah ke belakang pada ungkapan Henri Bergson: ”Substansi adalah konstruksi pikiran yang membekukan kenyataan, yang sebenarnya satu arus hidup yang bersatu, yang menyatukan seluruhnya ialah i’elan vital (gaya vital) atau la durre (keberlangsungan). La durre bertahan terus sambil dikembangkan, dan adalah sama dengan yang-hidup (ciptaan). Dan lain pihak i’elan vital mencapai kata ’exokhen bebas dan (namun) otonom. Sebagai substansi demikian juga semua sifat dalam yang hidup merupakan konsep-konsep yang beku. Dalam kenyataan hidup hanya terdapat aspek-aspek yang tidak dengan real didistingsikan dari apa yang hidup itu (Anton Bakker, 1995:14). Dalam keberlangsungan kosmos pada kelak tertentu, (harusnya) menyadarkan insani adalah makhluk bebas. Keberlangsungan itu beranjak dari embriogenesis, maka kosmos merupakan kesatuan persaudaraan kendati majemuk, sehingga dalam penjalani wasiat pengelolahan kosmos, manusia bersifat monodualisme (individual-sosial) yang memungkinkan kosmos berdikari sebagai substansi dengan identitas pewarnaan keharmonisan tatanan kosmos itu sendiri. Sederhananya : mencegah bencana alam akibat ulah manusia (kecuali manusia ingin mempercepat kiamat). Menurut pewarnaan jelas bahwa tiap substansi berbeda secara esensial, tetapi tetap bersinergi dalam keserupaan mendasar. Dia bermanfaat lebih, selain menjaga langit tak ompong-bolong pasti juga mencegah bumi bermandikan air bah, dll. Lalukanlah keliaran dari manusia, dan baiknya manusia menjaga dia. Ini merupakan kewajiban etis dan dalam hal ini cobalah padukan kewajiban etis antara Immanuel Kant dengan Henri Bergson : ”kewajiban etis berasal dari keprihatinan sekitar yang memacu rasionalitas dan bertujuan untuk tetap mempertahankan kehidupan dan kerukunan sesama (band. K. Bertens, 1996:10). Ini memungkinkan pelebaran tafsiran sesama dalam Golden Rule yang ada hampir dalam setiap agama, setiap kebudayaan. Berhentilah melihat sesama hanya pada manusia lainnya. Seluruh ciptaan haruslah dilihat sebagai sesama, sehingga Golden Rule berbunyi : ”Jika anda tidak mau disakiti sesama, janganlah sakiti sesama”. Dengan demikian manusia dan ciptaan yang lainnya adalah (sesama) warga kosmos. Belum terlambat untuk memperlambat kiamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar